Senin, 17 Desember 2007

MENGHINDARI PERANGKAP KORUPSI

Seringkali kita mendengar dalam beberapa kasus korupsi banyak orang merasa tidak tahu menahu kalau dirinya telah melakukan tindakan korupsi. Sang Pejabat berkelit bahwa ia tidak tahu persis tehnis pengelolaan dan hanya mempercayakannya pada bawahan dan sebaliknya sang bawahan berkilah bahwa ia hanya melaksanakan perintah atasan.
Untuk menghindari terjadinya lempar batu sembunyi tangan dan mempertegas komitmen anti korupsi dalam organisasi, maka mungkin cara berikut ini bisa dilakukan oleh anggota organisasi baik pejabat maupun bawahannya.

1. Pembuatan Akta Anti Korupsi oleh Pejabat/Pimpinan
Mereka yang mendapatkan amanah untuk menjadi pemimpin ataupun pejabat dalam suatu organisasi harus membuat “Akta Anti Korupsi”. Akta ini untuk internal organisasi dan ditembuskan kepada organisasi struktural di atasnya. Akta ini berupa pernyataan yang menegaskan bahwa pejabat yang bersangkutan tidak akan melakukan korupsi dan para bawahannya baik manajemen menengah, supervisor, ataupun pelaksana juga akan mendukung gerakan anti korupsi dengan memberikan informasi dan bantuan yang seluas-luasnya agar keputusan yang diambil oleh sang pejabat dan kegiatan dalam organisasi tidak berbau korupsi. Juga perlu dituliskan saluran untuk melaporkan indikasi terjadinya korupsi untuk diambil tindakan berikutnya baik preventiv maupun korektif.

Bila kemudian terjadi kasus korupsi maka semua pihak yang berhubungan langsung dengan area terjadinya korupsi harus bertanggungjawab sesuai porsinya masing-masing secara struktural dan jabatan kemudian mendapatkan hukuman berdasarkan tingkat kesalahannya masing-masing. Misal: Terjadi kasus mark up dalam pengadaan barang/jasa, yang harus bertanggungjawab adalah panitia pengadaan.

Akta ini ditandatangani oleh semua level manajemen (Kepala Kantor, Kepala Seksi, Ketua Panitia) dan beberapa saksi dari perwakilan pegawai/bawahan serta harus diketahui oleh semua anggota organisasi. Bila perlu semua anggota organisasi juga menandatangani akta tersebut dalam suatu lampiran sebagai bukti dukungan dan telah mengetahui.

Dengan demikian diharapkan tumbuh kesadaran anti korupsi di setiap anggota organisasi karena komitmen yang tinggi dari Kepala Kantor dan semua level manajemen. Semua menjadi sadar bahwa jika terjadi kasus maka yang saling terkait adalah yang paling bertanggungjawab. Dengan demikian jika ada oknum-oknum yang hendak melakukan korupsi, maka pihak yang saling terkait minimal tidak akan ikut-ikutan dan memberikan warning.

2. Pembuatan surat pernyataan tidak bertanggung jawab oleh bawahan
Kadangkala Akta yang telah dibuat hanya merupakan teori belaka atau hanya sekadar kamuflase dari atasan. Seringkali atasan bersikeras untuk melakukan tindakan yang tidak etis dalam suatu pekerjaan dan melibatkan bawahannya sebagai eksekutor dan penandatangan. Misal: atasan memerintahkan untuk meloloskan pembayaran yang tidak benar dan tidak syah dari pihak-pihak tertentu. Untuk menghadapi hal seperti ini, para pendukung anti korupsi baik pada level bawahan ataupun manajemen dapat menggunakan “surat pernyataan tidak bertanggung jawab” yang ditandatangani oleh bawahan dan atasan yang bersangkutan.

Surat pernyataan ini berisi tentang ketidaksetujuan dan alasannya terhadap tindakan-tindakan tidak etis tersebut, namun karena posisinya sebagai bawahan yang harus melaksanakan perintah atasan maka hal tersebut harus dilakukan. Surat ini menyatakan yang bersangkutan tidak bertanggung jawab bila terjadi tuntutan hukum akibat tindakan tersebut.

Hal ini pernah dilakukan oleh seorang teman saya sebut saja Mr.X. Mr.X saat itu bertugas memeriksa tagihan pada negara oleh suatu proyek. Karena tagihan tersebut tidak sesuai dengan aturan yang ada, Mr.X menolak tagihan tersebut. Atasan Mr.X (Kepala Kantor & Kepala Seksi) bersikeras agar tagihan tersebut diloloskan. Akhirnya Mr.X membuat surat pernyataan seperti di atas, lalu memproses tagihan tersebut atas perintah atasan.

Selang beberapa waktu, diadakan pemeriksaan terhadap proyek tersebut dan ditemukan pembayaran yang tidak diperkenankan yang diproses oleh Mr.X. Pembayaran tersebut kemudian diselidiki dan mengarah pada kantor Mr.X. Setelah pemeriksaan dilakukan, semua pihak yang berkaitan dengan lolosnya pembayaran tersebut mendapatkan hukuman kecuali Mr.X yang lolos karena memiliki surat pernyataan tersebut.

Bagaimanapun juga kedua cara di atas memerlukan komitmen yang tinggi bagi semua pihak dalam upaya pemberantasan korupsi khususnya upaya preventif. Terlebih lagi pada cara yang kedua, dibutuhkan keberanian ekstra untuk berbeda pendapat dengan atasan (dengan alasan yang benar) yang sayangnya belum menjadi budaya bagi PNS di negeri ini yang sangat kental beraroma feodalisme dan paternalistik. Loyalitas diterapkan secara salah kaprah dengan berkiblat pada kepentingan perseorangan (atasan atau pejabat), bukan pada kepentingan organisasi dan masyarakat yang mempekerjakan dan menggaji PNS.

Tidak ada komentar: