Rabu, 05 Desember 2007

Menghadapi Pungli Di SD Negeri

Beberapa tahun lalu, berdekatan dengan tahun ajaran baru, saya dimintai tolong oleh kenalan untuk memasukkan dua anaknya ke sekolah dasar (SD) negeri di ingkungan kami. Mereka meminta tolong saya untuk sekalian secara formalitas menjadi wali murid anak-anak mereka. Mereka segan karena merasa orang tak mampu, tidak mempunyai kerja tetap dan tidak memiliki KTP dan Kartu Keluarga.

Pada waktu itu sedang gencar-gencarnya pemerintah termasuk pemerintah daerah mengkampanyekan Wajib Belajar 9 Tahun gratis tanpa biaya dan adanya BOS (Bantuan Operasional Sekolah) untuk membiayai keperluan Wajib Belajar 9 Tahun tersebut. Pejabat-pejabat pun tak henti-hentinya berkoar-koar soal pendidikan SD dan SMP di daerahnya gratis. Tidak ada biaya apapun seperti membeli seragam di sekolah, buku-buku, dan sebagainya. Kalaupun ada pungutan, maka harus dengan persetujuan orang tua murid lewat Komite Sekolah dalam membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS). Media pun sangat intens meliput berita tentang program sekolah bebas biaya, mulai dari peraturan-peraturannya, sangsi bagi yang melanggar, analisis ahli, pengaduan bila terjadinya pungutan hingga pemberitaan kasus penyalahgunaan BOS, pungli yang masih terjadi dan lain sebagainya.

Oleh karena sudah sering terjadi bahwa peraturan-peraturan mengenai sekolah gratis hanya di atas kertas dan sering dilanggar sehingga masih ditemui pungli-pungli yang memberatkan orang tua siswa khususnya bagi mereka yang tidak mampu atau sangat tidak mampu, saya pun “mempersenjatai” diri kalau-kalau nanti saat mendaftarkan kedua anak kenalan saya itu masuk SD akan terjadi “sesuatu” yang tidak semestinya. “Senjata” saya adalah kliping koran-koran mengenai sekolah gratis baik berupa peraturan-peraturan, kutipan komentar para pejabat pusat dan daerah, ajakan untuk melaporkan pungli yang masih terjadi pada instansi berwenang, hingga kasus-kasus yang diekspos media massa mengenai “aparat sekolah” yang nakal.

O ya, saya lupa bercerita mengenai kenalan dan lingkungan sekolah yang akan saya “hadapi” tersebut. Kebetulan saya adalah PNS golongan rendah dengan masa kerja sepuluh tahun lebih yang mempunyai tanggungan seorang istri dan seorang anak balita serta kadang-kadang menanggung beberapa kerabat yang menganggap saya “orang berada” karena status sebagai PNS Departemen Keuangan. “Si Anu saja baru satu dua tahun kerja di Departemen Keuangan sudah punya rumah, mobil baru dan uang yang banyak”, adalah omongan yang paling sering saya dengar dari kerabat atau orang lain begitu mengetahui saya adalah PNS Departemen Keuangan.

Karena posisi saya sebagai PNS tersebut, maka menurut saya dapat dimaklumi kalau saya belum mampu membeli rumah BTN sekalipun {Soalnya untuk mengumpulkan uang muka rumah nggak pernah kesampaian J}. Jadilah saya seorang “kontraktor” yang sering berpindah rumah bila tidak cocok baik dengan harga, kondisi rumah ataupun dengan yang punya rumah. Harga yang saya mampu pun sangat terbatas sehingga sering mendapatkan rumah di lingkungan/daerah yang kurang ideal.

Saat itu kontrakan saya berada di lingkungan yang bisa dikatakan daerah kumuh dan padat, berjarak kurang lebih 200 meter dari sungai Ciliwung dan merupakan langganan banjir. Bila Banjir sedang hebatnya, maka bisa setinggi 2 meter lebih, sehingga kami terpaksa harus mengungsiJ Jadi bisa dibayangkan mayoritas mereka yang menjadi tetangga-tetangga saya, mereka belum seberuntung saya karena untuk makan seadanya saja harus mengeluarkan tenaga, waktu dan pikiran yang ekstra keras dari memulung, tukang sampah, jual koran, warteg mini dan sektor informal lainnya. Apalagi banyak kaum lelaki yang menganggur dan hanya mengandalkan kreativitas dan kerajinan para istri. Tidak bisa dibayangkan betapa pusingnya kepala dan sedihnya hati mereka saat memikirkan biaya kontrak rumah, apalagi keperluan sekolah anak-anak yang kadang kala harus mengalah/dikalahkan. Di daerah seperti inilah SD yang akan menjadi sekolah kedua anak kenalan saya itu. Bahkan jarak SD tersebut kurang dari 50 meter dari bibir sungai yang teramat sangat kotor tersebut.

Tibalah saat saya mengantar kedua anak tersebut mendaftar SD. Setelah mengisi formulir dan bertemu dengan Kepala Sekolah yang menangani langsung penerimaan murid baru akhirnya kedua anak tersebut dinyatakan resmi sebagai murid SD negeri tersebut. Kepala Sekolah terkesan sangat ramah, bahkan setelah tahu saya bekerja sebagai PNS di Departemen Keuangan, Beliau lebih ramah lagi. Omongan yang kurang lebih sama pun kembali saya dengar dari Kepala Sekolah tentang “kesuksesan dan kemapanan” beberapa kenalannya yang bekerja di Departemen Keuangan. Saya pun menanggapinya dengan terus terang bahwa pegawai Departemen Keuangan yang beliau kenal tersebut bisa saja merupakan “orang yang bermasalah”. Sampai akhirnya sang Kepala Sekolah berbicara mengenai “bantuan-bantuan” untuk sekolah. Saya pun pura-pura “bego” dan berbicara normatif. Akhirnya karena masih ada beberapa orang tua yang akan mendaftarkan anaknya, saya pun pamit pulang. Saat pulang saya lihat tampak guratan tidak puas atau mungkin kesal dari ekspresi wajah dan senyum sang Kepala Sekolah tersebut. Sangat beda tadi saat tahu saya pegawai Departemen Keuangan. Saya masa bodoh, yang penting kedua anak tersebut telah berhasil masuk SD negeri dengan tanpa biaya sepeserpun!!! Tapi dalam perjalanan pulang terlintas dipikiran saya, apakah akan seterusnya seperti ini??? O ya, saya lupa kalau ditengah perbincangan kami sempat disela oleh seorang murid yang memberikan bingkisan pada Beliau. “Ini dari papa” kata anak tersebut. Beliau tersenyum sumringah dan mengelus kepala anak tersebut lalu berkata, “Salam buat papa ya!”

Beberapa minggu kemudian saya diberitahu istri kalau kedua anak sekolah tersebut sering “diminta” untuk membayar ini itu bahkan untuk hal-hal yang sangat remeh sekalipun. Salah satunya bahkan sempat membuat saya kesal dan mendatangi guru SD tersebut. Pasalnya sang anak disuruh pulang oleh gurunya saat sedang jam belajar hanya untuk mengambil uang Rp500,- demi mendapatkan foto copy jadwal pelajaran dalam tulisan tangan sang guru sebesar kertas kuarto dibagi dua. Memang anak tersebut saya wanti-wanti untuk tidak diberi uang jajan, tetapi membawa bekal sendiri ke sekolah yang disiapkan istri saya. Bayangkan saja!!! Satu kelas kurang lebih ada 30 anak, satu lembar kertas kuarto dapat berisi dua buah jadwal, harga foto copy hanya kurang dari Rp100,- (anggaplah Rp100,-). Jadi untuk memenuhi kebutuhan foto copy jadwal seluruh murid satu kelas tersebut hanya diperlukan 15 lembar X Rp100,- = Rp1.500,- suatu jumlah yang sangat kecil yang seharusnya bisa ditutupi oleh dana operasional sekolah ataupun pemberian iklas dari sang guru. Apalagi penghasilan guru di Ibu Kota relatif memadai. Atau setidaknya dapat menunggu hingga hari berikutnya, bukannya menyuruh anak kelas satu SD untuk pulang ke rumah di saat jam belajar hanya untuk mengambil Rp500,-. Disekolah saya mempertanyakan tindakan sang guru tersebut, dan saya pun mendapatkan jawaban klise seolah-olah tidak ada sesuatu yang salah terjadi dan guru tersebut pun tidak merasa bersalah.

Untuk buku-buku pelajaran pun dimintai uang yang besarnya cukup/sangat memberatkan para orang tua yang sebagian diantaranya adalah golongan miskin/tidak mampu. Padahal buku-buku sudah disediakan gratis bagi setiap sekolah untuk setiap pelajaran. Saya sudah mengingatkan hal ini pada kenalan saya dan mendorongnya untuk berani “bertanya” terhadap setiap pembayaran yang diminta pihak sekolah. Tetapi tanpa memberitahu saya ternyata kenalan saya itu telah membayar lebih dari seratus ribu untuk keperluan buku-buku anaknya yang diminta oleh sekolah.

Yang sangat aneh lagi adalah jumlah buku untuk keperluan murid kelas satu SD sebanyak 7 buah untuk setiap enam bulan/semesternya. Beberapa buku pun cukup tebal untuk ukuran anak kelas satu SD. Apakah perlu menggunakan buku sebanyak itu untuk siswa kelas satu SD yang belum bisa membaca dan menulis??? Saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi karena sudah memberi informasi tentang sekolah gratis di Ibu Kota kepada kenalan saya itu. Kata istri saya, kenalan saya itu takut kalau anak mereka diapa-apakan oleh sekolah.

Puncak kekesalan saya adalah saat pembagian rapor semester pertama. Kedua anak tersebut tidak diberikan rapor oleh sekolah karena ada “beberapa hal” yang belum diselesaikan. Orang tua/wali murid disuruh datang ke sekolah. Melihat raut sedih dan kebingungan kenalan saya dan anak-anaknya, saya memutuskan untuk datang ke SD tersebut.

Saat menemui guru wali kelas, saya mendapatkan kalimat-kalimat yang berputar-putar dan tidak to the point, padahal maksudnya sudah jelas yaitu sekolah merasa kedua murid tersebut belum membayar sesuatu. Ketika saya mulai bertanya-tanya tentang surat keputusan komite sekolah tentang pembayaran ini itu di sekolah tersebut dan juga kaitannya dengan kebijakan sekolah gratis dan tidak boleh ada pungutan, sang guru langsung berkelit dan seolah-olah ikut menyalahkan Kepala Sekolah, bahwa ini adalah perintah/kebijakan dari sang Kepala Sekolah, si wali kelas mengaku tidak tahu-menahu.

Saya pun langsung ke ruangan Kepala Sekolah. Diruangan sedang tidak ada tamu dan sang Kepala Sekolah sedang duduk tanpa kesibukan. Begitu melihat saya datang, Beliau langsung seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu, membaca berkas sambil tangannya seolah-olah hendak menulis sesuatu. Saya pun mengetuk pintu, “Maaf mengganggu pak! Saya disuruh Guru X menemui Bapak. Mengenai Rapor anak kami, katanya ada sesuatu yang belum diselesaikan.”
Kemudian sang Kepala Sekolah mulai berbicara to the point dengan kalimat-kalimat yang menyindir saya seolah-olah saya tidak bertanggungjawab dan pura-pura tidak tahu apa maksud yang beliau katakan. Kepala Sekolah pun akhirnya mengucapkan kalimat yang intinya proses masuk kedua anak yang saya daftarkan di SD tersebut belum selesai karena belum membayara sumbangan sebesar Rp200ribu untuk setiap anak. Artinya untuk mendapatkan rapor, harus membayar Rp400ribu terlebih dahulu.

Saya pun tersenyum dan dalam hati saya berkata “inilah saatnya menggunakan ‘senjata’ yang saya persiapkan enam bulan yang lalu!”. Saya pun menanyakan apa dasar/peraturan pembayaran tersebut, apakah ada surat keputusan rapat komite sekolah dan persetujuan orang tua/wali murid mengenai pembayaran yang diminta pihak sekolah. Sekalian saya bertanya tentang pembelian buku-buku yang “over dosis” untuk ukuran siswa SD kelas satu dan keberadaan buku-buku gratis yang diberikan Dinas Pendidikan, serta pungutan-pungutan lainnya yang terjadi.

Saya berikan kliping-kliping koran yang saya kumpulkan mengenai dasar hukum dan peraturan-peraturan pelaksanaan wajib belajar 9 tahun dan tidak adanya pembayaran yang boleh dipungut oleh pihak sekolah. Beberapa kliping juga memuat tentang sangsi keras bagi aparat sekolah yang melanggar. Akhirnya saya katakan, bukan masalah nominal pembayaran yang membuat saya mempertanyakan semuanya, tetapi dasar hukum pembayaran-pembayaran tersebut. Bila dasar hukum/peraturan memang membolehkan pembayaran tersebut, 1 juta pun akan saya bayar sekarang juga dan saya minta diberikan salinan fotocopy peraturan sekolah dan kuitansi pembayaran.

Raut wajah sang Kepala Sekolah pun berubah. Tampak adanya kecemasan dan rasa tidak senang dari nada bicaranya. Akhirnya dengan kalimat yang datar, tanpa basa-basi dan tanpa senyum lagi seperti sebelumnya dia berkata, “Kalau Bapak tidak mau bantu kami, ya tidak apa-apa! Siapa nama anak nya Pak?” Sayapun menyebutkannya dan sesaat kemudian rapor pun diberikan. Saya pun mengucapkan terima kasih dan keluar dari ruangan tersebut masih penuh dengan perasaan dongkol. Walaupun saya “menang”, perasaan saya mengatakan kemenangan ini “hanya sementara”.

Beberapa lama kemudian masa kontrak rumah saya habis dan saya memutuskan untuk pindah rumah karena istri saya trauma dengan banjir 2 meter lebih yang pernah terjadi. Saya tidak lagi mendengar kabar tentang sekolah dua anak kenalan saya itu. Terakhir saya dengar kabar dari istri yang bertemu dengan tetangga di kontrakan lama, kedua anak kenalan saya tersebut ternyata sudah berhenti sekolah. Saya menghela nafas panjang dan hanya bisa bersedih. “Akhirnya mereka menyerah” Batin saya lirih.
(Jakarta, 2 November 2007)

Tidak ada komentar: