Minggu, 16 September 2007

Langkah Pasti Memberantas KKN

Reformasi birokrasi yang sedang dijalankan Departemen Keuangan tujuan utamanya adalah untuk mencapat efektifitas efisiensi pelayanan masyarakat dan pemberantasan KKN. Adapun remunerasi hanya salah satu alat (tool) dalam rangka mencapai tujuan tersebut, disamping tools lain seperti transparansi informasi, komunikasi, sarana prasarana, kode etik, dsb.

Sayangnya tidak semua (atau mayoritas???) pegawai DepKeu sadar, paham & mengerti tujuan utama reformasi birokrasi ini. Kebanyakan yang terpikir dalam reformasi birokrasi ini hanyalah masalah REMUNERASI. Akibatnya gerakan reformasi ini disambut dengan persiapan dan langkah-langkah yang “keliru”. Logika yang dipakai dan tertanam di otak bawah sadar kita adalah “Karena penghasilan sudah dinaikkan (besar) maka harus bekerja yang rajin, efektif efisien dan tidak KKN” Dengan logika seperti ini, dalam kondisi normal, tidak akan ada masalah dalam pekerjaan sehari-hari. Pelayanan masih dapat berjalan efektif efisien dan KKN dapat diminimalisir. Tetapi dalam kondisi yang tidak normal, penuh pressure dan situasi kondisi yang selalu berubah-ubah, logika/pemikiran di atas sangat tidak memadai dalam pelayanan masyarakat, sehingga tujuan utama pelayanan efektif efisien menjadi terabaikan dan KKN kembali menjamur dan menggurita.

Dalam kajian-kajian anti KKN, ada tiga sebab utama terjadinya KKN yaitu adanya P for Pressure (tekanan), O for Opportunity (Kesempatan), R for Rationalization (Pembenaran). P adalah tekanan-tekanan yang terjadi sehingga seseorang cenderung/mudah untuk melakukan KKN yang bisa berasal dari faktor eksternal (misal: ancaman atasan, rekan kerja), dan internal (misal: kesejahteraan kurang, terlilit hutang, perlu biaya besar/mendesak untuk pengobatan). O adalah kesempatan yang terbuka karena lemahnya kontrol dan prosedur (misal: brankas tidak dikunci, tumpang tindih jabatan/tugas, penegakan kode etik dan hukum yang lemah, tidak transparan, dll.). R adalah pembenaran dari para pelaku KKN (misal: yang lain juga melakukannya, habis ini nggak lagi, nanti uangnya kukembalikan, hasilnya dipakai untuk nyumbang mesjid/yatim piatu/fakir miskin, saya terpaksa, dsb).

Dalam banyak kasus KKN P&O adalah aktor utama dan R adalah aktor pembantu. P pada masing2 orang berbeda, bisa saja menurut Mr.X tidak enak/gak sopan/ bila menolak “ajakan/perintah” dari atasan/rekan kerja untuk KKN tapi bagi Mr.Y ini tidak bisa dikompromikan. Bagi Mr.X gak punya HP 3G/motor/mobil adalah memalukan sebagai pegawai DepKeu, tapi Mr.Y hal ini gak masalah. Bagi Mr. X sesuatu kondisi dapat menjadi pressure untuk melakukan KKN tapi tidak bagi Mr.Y.

Keputusan untuk melakukan KKN atau tidak bila aktor2 utamanya telah ada (P&O) ditentukan oleh INTEGRITAS seseorang. Mereka yang berintegritas tidak akan melakukan KKN walaupun memiliki aktor2 P&O sekaliber Al-Pacino dan Kristin Hakim. Sebalikanya mereka yang berintegritas rendah akan mudah saja melakukan KKN walaupun aktor2 yang dimiliki kemampuannya hanya sekelas artis kacangan seperti dalam sinetron-sinetron kita:).

Dalam rangka memberantas KKN yang SERIUS, ada ide yang menarik dari artikel Majalah Internal Auditor yang berjudul "Intelligent Fraud Fighting” (maaf, saya lupa nama pengarangnya), yaitu pembentukan IOSI System (Internal Organization Security Intelligent) tentu saja dengan aplikasi yang sesuai dengan DJPBN.

IOSI system adalah metode untuk mendapatkan informasi dan membangun sumber daya yang melindungi organisasi dari hal-hal yang merusak utamanya pelanggaran kode etik dan KKN. Tujuan utama IOSI system adalah pencegahan. IOSI system harus dibarengi dengan sosialisasi kepada semua pihak yang berkepentingan terhadap organisasi (misal KPPN: pegawai, bendaharawan, pimpro, kepala satker, bank dan pos, rekanan) tentang gejala2/tanda2 KKN.

IOSI system bisa dibentuk dalam skala lokal (KPPN), Wilayah (Kanwil), ataupun terpusat (Itjen or struktur di Kantor Pusat DJPBN). IOSI melapor pada atasan lebih tinggi dari unit Satker, misal masalah di KPPN lapor pada Kanwil, masalah Kanwil pada Kantor Pusat, dst. Setiap masalah harus didokumentasikan dengan tertib meskipun hanya kabar burung, gosip, surat kaleng yang setelah dicek kebenarannya belum/tidak terindikasi KKN.

Personel dalam IOSI adalah mereka yang memiliki integritas dan track record yang jelas dalam bersikap terhadap KKN. Hal ini bisa dilakukan dengan konfirmasi rahasia terhadap siapa saja yang pernah berurusan dan berhubungan dengannya. Misal: konfirmasi tentang track record pekerjaan masa lalu, bagi pegawai seksi perbendaharaan: konfirmasi dengan bendaharawan, pimpro, kepala satker dan rekanan. Dsb. Selain itu IOSI harus mempunya “agen rahasia” disetiap lini kegiatan agar dapat mendeteksi sedini mungkin. Misal di KPPN, IOSI punya agen di seksi perbendaharaan, umum, bendum, vera, dan bendaharawan. Agen2 ini tidak diketahui umum kecuali personel kunci IOSI, bahkan agen IOSI yang satu tidak mengetahui siapa agen IOSI yang lain. Agen IOSI ini adalah pegawai pilihan dari tiap satker yang bersangkutan dan dalam periode tertentu dimutasi ke satker2 lain bersamaan dengan mutasi pegawai reguler.

Dalam melaksanakan tugasnya IOSI harus melibatkan semua pihak yang terlibat dalam organisasi seperti kepegawaian dalam merekrut staff dan koordinasi kepegawaian seperti mutasi, promosi, diklat dan up date data. Bagian Teknis dengan menset prosedur pekerjaan yang jelas dan Bagian yang menentukan tindakan bagi pelaku KKN. IOSI system sangat ampuh dalam preventif dan deteksi KKN yang berkaitan dengan Suap, gratifikasi, tumpang tindih manajemen, katebelece & rekomendasi khusus.

Langkah2 pembentukan IOSI system adalah:
1. Formulasi tugas & tanggung jawab IOSI (cukup jelas)
2. Membentuk kode etik (cukup jelas)
3. Meningkatkan kesadaran pegawai dan sosialisasi anti KKN.
Organisasi harus memberikan pesan yang jelas bahwa tidak ada toleransi bagi KKN. Dan mewajibkan setiap pegawai melaporkan kecurigaan terhadap pelanggaran kode etik/aturan kepada pihak yang berwenang dalam IOSI system.
4. Menciptakan kondisi yang mendukung “WhistleBlowing”.
Seperti HOTLINES, merahasiakan identitas pelapor dan melindungi keamanan dan kenyaman sang pelapor dari tekanan2 yang mungkin terjadi karena laporannya.
5. Desain reward system.
Mengumumkan secara luas bahwa penghargaan akan diberikan pada whistleblower, penghargaan pada pegawai teladan dan atau berkinerja baik.
6. Penentuan Kriteria Laporan dan Hukuman bagi laporan palsu.
Kriteria & ukuran laporan harus jelas tetapi tidak membuat takut untuk melapor. Pemberi laporan palsu dikenakan hukuman tegas untuk memberi situasi kondusif bagi lingkungan.
7. Diklat dan promosi hanya bagi pegawai yang berkualitas.
Tidak ada senioritas, dan pelanggar kode etik/pelaku KKN harus dieliminasi, karena merupakan bom waktu bagi organisasi.
8. Menciptakan situasi lingkungan pekerjaan yang nyaman, misal kegiatan rohani, kegiatan konseling, dan perhatian pada kondisi pribadi/keluarga pegawai.

PNS perlu merevisi logika pelayanan. PNS adalah pelayan (bahasa kasarnya pembantu) masyarakat. PNS dihidupi/digaji oleh rakyat. Bila pekerjaan baik/bagus maka rakyat tidak akan keberatan untuk menaikkan gaji pelayannya. Sebaliknya, bila rakyat belum menaikkan gaji karena pekerjaan yang buruk, atau karena rakyat/majikan belum memiliki cukup uang, maka tidak sepantasnya PNS mencuri/maling dari sang majikan. Gaji tidak seharusnya jadi alasan untuk bekerja ataupun tidak bekeja dengan jujur dan efektif/efisien.

Normalnya, bila melihat ada maling, secara refleks kita akan berteriak “MALIIING!!!” Mengejar, menangkap, & menyerahkannnya kepada POLISI. Atau setidaknya kita melaporkannya or sekadar berteriak. Tetapi bila ada MALING dan kita hanya diam saja, jangan2 kita sudah “tidak normal” lagi? Atau bisa juga memilih sikap seperti yang dinasehatkan oleh mentor saya yang merupakan salah seorang anggota komite audit dari beberapa perusahaan yang saya kenal, “Kalau tidak bisa ikut “membersihkan”, setidaknya jangan ikut “menyampahi”!!!

Hmmmm…., Saya hampir Putus Asa menanti Indonesia bebas KKN”:)