Kamis, 12 Juni 2008

Anti Korupsi "in Appearance" and "in Fact"

Konsiderans UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa: “tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA, tetapi juga MERUPAKAN PELANGGARAN TERHADAP HAK-HAK SOSIAL DAN EKONOMI MASYARAKAT SECARA LUAS, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa”.

Hak2 sosial dan ekonomi merupakan bagian dari HAM DASAR, dan pelanggarannya merupakan kejahatan tingkat berat, begitu juga pelakunya merupakan penjahat kelas berat, jadi dapat juga dikatakan bahwa korupsi adalah kejahatan terhadap HAM dan Koruptor adalah pelanggar HAM tingkat berat.
Apa yang sudah kita (kantor) lakukan sehubungan dengan korupsi/koruptor yang merupakan pelanggaran HAM berat??? Langkah2 apa yang sudah kita lakukan? Apakah langkah2 itu adalah tindakan yang biasa atau luar biasa atau tindakan yang tidak biasa? Apakah PERBAIKAN REMUNERASI termasuk tindakan biasa, luar biasa atau tidak biasa dalam pemberantasan korupsi??? :) Apakah yang bisa kita (kantor) lakukan???

Meskipun UU diatas menyatakan “pemberantasan korupsi harus dilakukan secara LUAR BIASA”, ternyata banyak hal-hal kecil yang biasa-biasa saja dan bisa kita (kantor) lakukan, tetapi “tidak biasa” dilakukan sebelumnya. Hal-hal biasa itu adalah melakukan aktivitas anti KKN dalam pengertian “in appearance” (dalam penampilan) dan “in fact” (dalam kenyataan/realitas).

Anti KKN dalam PENAMPILAN (in appearance)
Anti KKN dalam penampilan mirip dengan sosialisasi bahwa kita (kantor) bukan bagian dari koruptor. Hal ini bisa dilakukan dengan spanduk, stiker, pamflet bahwa kita (kantor) tidak menerima suap, sogokan, amplop, lampiran dan apapun namanya ataupun dalam bentuk apapun. Kalau kita (kantor) “mau”, dapat diedarkan sumbangan suka rela (infaq/sedekah?) untuk membuat suatu spanduk anti KKN, misal: “Anda Memasuki Kantor Bebas/Anti KKN!!!” atau/dan “KKN adalah Kejahatan Luar Biasa dan Pelanggaran HAM Berat” atau/dan “KKN Penyebab Busung Lapar dan Kelaparan Saudara-Saudara Kita”, atau/dan sebagainya. Atau dapat juga dengan membuat sejenis PIN yang bertuliskan "Saya Tidak Korupsi" yang disematkan di dada tiap pegawai. Dengan demikian masyarakat yang dilayani dapat merasa aman dan nyaman saat berurusan dengan kantor pelayanan publik.

TAPI INGAT!!! Dananya jangan mengambil dari DIPA bila tidak ada peruntukannya/tidak diperkenankan alokasinya. Dana bisa dari infaq/shadaqah dari pegawai yang concern, ataupun berdasarkan policy dari jajaran pimpinan kantor. Misal KPPN Percontohan, terdiri dari 40 pegawai, setiap pegawai menyumbang sekitar Rp10.000,- maka tersedia Rp400.000, cukup untuk membuat 2-3 spanduk yang dipampang di gerbang/pagar masuk, pintu masuk kantor dan tempat lainnya yang strategis. Saya yakin para pegawai KPPN Percontohan ataupun pegawai Depkeu secara umum tidak akan keberatan menyumbang Rp10.000,- ataupun lebih mengingat REMUNERASI nya yang relatif sangat memadai. Bila memungkinkan kita (kantor) dapat membuat stiker anti KKN yang dibagikan kepada klien/bendaharawan/rekanan atau tamu2 lain yang datang.

Dan atau bisa juga dengan membuatnya sendiri menggunakan komputer & printer kantor yang saya yakin tidak menyalahi aturan karena masih dalam kapasitas operasional kantor dalam rangka melaksanakan tugas sesuai dengan UU, yaitu bebas KKN. Kalau tidak bisa print warna, cukup hitam putih menggunakan font besar atau “Word Art” dengan “Line Font Hitam” tanpa “Fill Colour” dan dicetak dengan mode “Fast Draft” atau “Economode”. Setiap meja pegawai, pintu, kaca, dinding dan apapun yang memungkinkan dipasangkan poster/pamflet anti KKN buatan sendiri tersebut. Bahkan sekalian saja “Screen Saver” komputer kantor di set dengan tema anti KKN!!!

Anti KKN dalam REALITAS (in Fact)
Bila anti KKN dalam penampilan (in appearance) telah masif dilakukan, sedikit banyak membuat klien/bendaharawan/rekanan dan tamu2 lainnya akan merasa “aman” saat memasuki kantor dan bertemu kita. Hal ini juga menjadi atmosfer yang sedikit banyak akan mempengaruhi pegawai dan tamu2 yang “tidak waras” serta membuat lingkungan yang tidak kondusif bagi perilaku/pelaku KKN.
Tapi hal ini saja TIDAK CUKUP! Harus dibarengi dengan kontrol yang memadai, penerapan kode etik, dan reward & punishment yang tegas/jelas. Jangan lagi ada pegawai2 “istimewa/anak emas” yang melakukan “dosa” tapi dihukum ringan atau dihukum asal2an & akal2an. Misal Mr.X melakukan KKN di KPPN Percontohan A, tetapi hanya dihukum dengan mutasi ke seksi lain atau mutasi ke KPPN Percontohan B. Tidak ada sangsi kepegawaian sesuai ketentuan peraturan formal.

Bila hal-hal seperti ini tetap terjadi ataupun malah KKN dalam skala massal/mayoritas di kantor, maka spanduk/poster/pamflet yang merupakan upaya anti KKN dalam PENAMPILAN hanya akan menjadi LELUCON!!!.

Sebenarnya tidak sulit untuk memberantas or meminimalisir KKN, bahkan tidak perlu tindakan luar biasa (misal pasang kamera/penyadap). Hanya dengan tindakan yang biasa-biasa saja/tidak istimewa sudah cukup untuk menciptakan lingkungan bebas KKN. Yang diperlukan hanya KEMAUAN kita (dan kantor/pimpinan kantor).

Bila kantor dan atau jajaran pimpinan kantor belum concern dengan tindakan anti KKN yang murah dan biasa-biasa saja ini, MAUKAH kita? BERANIKAH kita? secara personal or “single fighter” melakukan anti KKN dalam PENAMPILAN pada properti di lingkungan sekitar kita sendiri seperti meja, kursi, komputer, motor, sepeda, dan lainnya? MAUKAH kita? BERANIKAH kita? untuk melakukan anti KKN dalam REALITA sehingga dengan tegas berkata “TIDAK” pada klien, rekan kantor, pimpinan atau siapapun berkenaan dengan KKN???

Ada yang mengatakan bahwa anti KKN tidak penting dengan kata2 yang penting adalah perbuatan. Ada benarnya, Tetapi dalam lingkungan yang KKN nya sudah sangat “JAHILIYAH”, bisa saja ini pernyataan ini merupakan sebuah “persiapan” bagi seseorang untuk “melarikan diri” ataupun untuk “pembenaran/rasionalisasi” bila suatu saat melakukan KKN. Misal: “Kan saya gak pernah janji anti KKN!” Yang jelas/pasti, bila sudah anti KKN dalam PENAMPILAN, maka kita sudah memberikan “sinyal” yang kuat dan dapat dilihat dari jauh bahwa “We allergic to KKN & never come to me”. Akhirnya bila anti KKN dalam PENAMPILAN (in appearance) tidak didukung oleh anti KKN dalam REALITA (in fact), berarti kita telah menjadikan diri sendiri sebagai LELUCON, dan ini hanya terjadi pada mereka yang sudah tidak mempunyai “RASA” lagi.

Minggu, 01 Juni 2008

PIN "SAYA TIDAK KORUPSI" PADA INSTANSI PELAYANAN PUBLIK


Penggerebekan suatu institusi pelayanan publik yang dilakukan KPK beberapa hari lalu menunjukkan hasil yang mengejutkan dan memalukan. Mengejutkan karena disinyalir transaksi suap yang terjadi dalam satu bulan mencapai 12,5 milyar. Di hari penggerebekan tersebut ditemukan uang sebesar 500juta dan berbagai barang bukti lainnya. Bayangkan tak terhingga banyaknya uang suap yang bisa dikumpulkan apabila KPK tidak kunjung melakukan penggerebekan.

Kejadian ini juga sangat memalukan bagi gerakan reformasi birokrasi yang dijalankan terutama dengan menaikkan remunerasi atau penghasilan para penyelenggara negara. Uang milik rakyat yang sebagian besarnya sedang dalam kemiskinan dan hampir jatuh miskin sengaja dialokasikan untuk memperbaiki kesejahteraan para birokrat dengan harapan akan memberikan kinerja dan pelayanan yang prima dan bebas KKN bagi rakyat, ternyata belumlah cukup berarti untuk menghilangkan buruknya mental, moral dan budaya birokrasi kita. Hal ini semakin memperpanjang catatan hitam para birokrat yang sudah digaji cukup tinggi bahkan sangat tinggi seperti yang pernah terjadi di institusi Pajak, Bea Cukai, Bank Indonesia, DPR bahkan KPK sendiri. Catatan hitam ini mungkin akan semakin panjang karena masih banyak institusi pemerintah yang terkesan “cuek” bahkan “untouchable” dengan gerakan pemberantasan korupsi.

Walaupun masih sering terjadi hal-hal yang memalukan, gerakan reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi tidak boleh mundur dan terhenti. Gerakan reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi harus tetap tegar berjalan maju dan melibas apa saja yang menghalanginya. Bila para koruptor dan kroni-kroninya menggunakan segala cara untuk melanggengkan aksinya, maka segala cara juga perlu diambil dalam gerakan reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi untuk menghentikannya, dari cara-cara yang sederhana hingga yang rumit dan menggunakan teknologi tinggi.

Pin Saya Tidak Korupsi

Tampaknya iklan-iklan, spanduk-spanduk dan pamflet anti korupsi yang dipajang di kantor-kantor pelayanan publik belumlah cukup ampuh untuk memberantas praktek suap dan korupsi yang telah membudaya dan terus ber-regenerasi. Bahkan di televisi sering kita saksikan saat penggerebekan dan penangkapan para oknum yang sedang “apes” juga terdapat slogan, iklan, pamflet, dan poster anti korupsi di kantor atau ruangan oknum yang bersangkutan. Mungkin semua itu hanya dianggap seperti rambu-rambu lalu lintas yang telah biasa dilanggar setiap hari yang bila tidak ada polisi atau tidak tertangkap basah berarti boleh untuk dilanggar, bahkan bila tertangkap pun masih terbuka jalan untuk berkelit dan berdamai.

Iklan-iklan anti korupsi dan sejenisnya yang tidak terlalu berdampak positif pada perilaku birokrasi kita mungkin saja dikarenakan karena yang bersangkutan merasa tidak “terbidik” atau tidak “terkena” secara pribadi dengan iklan-iklan tersebut. Oleh karena itu mungkin bisa dicoba cara dengan lebih melibatkan para birokrasi kita secara personal atau pribadi dalam gerakan pemberantasan korupsi termasuk dalam pengiklanan anti korupsi atau dalam bahasa marketingnya “Anti Corruption Self Marketing/Campaign”. Sudah saatnya kita mengangkat semua jajaran birokrasi kita sendiri sebagai bintang iklan pemberantasan korupsi.

Cara ini dapat ditempuh dengan membuat Pin yang bertuliskan “Saya Tidak Korupsi” yang wajib dipakai oleh penyelenggara negara dari level atas hingga level bawah. Pin “Saya Tidak Korupsi” ini disematkan di pakaian. Dengan adanya pin “Saya Tidak Korupsi” yang dipakai oleh setiap birokrat, maka otomatis setiap penyelenggara negara telah menjadi bintang iklan gerakan anti korupsi. Berarti setiap penyelenggara negara terlibat secara langsung dan pribadi dalam kampanye anti korupsi. Dengan demikian diharapkan dapat memberikan efek yang lebih mengena dalam aktivitas sehari-hari para birokrat terutama saat memberikan pelayanan publik. Hal ini harus didukung dengan sosialisasi dan peraturan yang tegas tentang pemakaian pin “Saya Tidak Korupsi”. Setiap pegawai wajib mengenakan pin tersebut dan setiap orang/masyarakat yang hendak berurusan dengan penyelenggara negara harus berurusan dengan pegawai yang menggunakan pin tersebut. Bila masyarakat dilayani oleh pegawai yang tidak memakai pin tersebut maka mereka berhak untuk memilih pegawai lain yang sedang memakai pin “Saya Tidak Korupsi” sekaligus melaporkan pegawai yang tidak mengenakan pin tersebut kepada atasannya ataupun pihak yang berwenang.

Setidaknya dengan penggunaan pin “Saya Tidak Korupsi” ini akan memberikan efek pencegahan secara timbal balik antara penyelenggara negara dengan masyarakat yang dilayani. Di satu sisi pegawai yang memakai pin “Saya Tidak Korupsi” akan merasa malu bila melakukan korupsi dan sejenisnya karena yang bersangkutan terlibat secara langsung dalam kampanye anti korupsi. Di sisi lain, masyarakat yang melihat pegawai yang mengenakan pin “Saya Tidak Korupsi” di bajunya akan berpikir panjang bila berniat melakukan penyuapan ataupun dapat langsung berani menolak bila dibebankan pungutan liar oleh pegawai yang nakal, atau paling tidak masyarakat dapat mempertanyakan ketidakkonsistenan pin yang dipakai pegawai dengan perilaku pegawai tersebut ataupun dengan mentertawai perilaku pegawai nakal tersebut bila memang tetap mendapatkan pelayanan yang korup.

Pemberantasan korupsi memang bukanlah hal yang mudah, tetapi juga bukanlah hal yang mustahil. Bukan mustahil pula bila korupsi dapat diminimalisir dalam waktu yang relatif singkat. Pendapat yang menyatakan pemberantasan korupsi membutuhkan jalan yang sangat panjang dan berliku agar bisa memberikan kesejahteraan bagi rakyat bisa saja memperlemah semangat anti korupsi masyarakat. Kelemahan ini mulai terlihat dari beberapa survey yang menyatakan masyarakat merindukan kehidupan “di masa lalu” di mana korupsi sangat menggurita namun tidak atau belum diekspos besar-besaran seperti sekarang.

Keberhasilan pemberantasan korupsi bergantung pada kesungguhan dan dukungan semua pihak. Segala cara patut ditempuh dalam rangka memberantas korupsi di negeri ini, dari cara-cara yang sederhana hingga cara-cara yang canggih baik dari segi pencegahan maupun tindakan tegas dengan penegakan hukum yang adil, transparan, dan konsisten. Dan salah satu indikator keberhasilan pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi adalah “saat di mana rakyat sudah merasa “aman” dan “nyaman” ketika menggunakan ataupun mengakses pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah dan dibiayai dari uang rakyat itu sendiri.

Indonesia Bebas Korupsi??? Itu Harus Bisa!!!

Kamis, 29 Mei 2008

Religiusitas Koruptor

Suara azan menandakan waktu sholat zuhur telah masuk lantang terdengar di seluruh kantor. Amir pun mengambil perlengkapan sholatnya, memakai topi haji berwarna putih dan sejadah dipundaknya, ia bergegas menuju musholla kantor setelah pamit meninggalkan dua tamu yang hendak mengurus pencairan dana yang cukup besar.

Amir selalu teringat dengan nasehat yang diberikan orang tuanya dan juga yang sangat sering didengarnya dalam setiap ceramah agama tentang keutamaan sholat yaitu:
- Amal pertama yang akan diperiksa di akhirat adalat sholat, jika baik sholatnya maka dianggap baik pulalah amal ibadah yang lainnya, demikian sebaliknya.
- shalat lima waktu bagaikan sungai yang mengalir di depan pintu seorang muslim dan digunakan untuk mandi sebanyak lima kali dalam sehari, sehingga akan menghilangkan kotoran-kotoran yang melekat di badannya. Begitu pula shalat lima waktu, akan menghapus dosa-dosa seorang muslim yang selalu menjalankan dan menjaganya.

Amir meyakini bahwa dirinya hanyalah manusia biasa yang tidak bisa luput dari kekhilafan dan dosa, oleh karena itu ia berusaha menjaga sholat dan semaksimal melaksanakannya dengan berjamaah. Dengan demikian Amir meyakini bahwa semua dosa-dosa yang dilakukannya baik sengaja ataupun tidak sengaja akan diampuni dan dihapuskan oleh Allah. Selain itu, dengan ibadah sholat yang dijaga dengan baik maka ia juga meyakini semua amal ibadahnya yang lain seperti naik haji, zakat, infaq, shodaqah dan lain sebagainya akan diterima oleh Allah dan menambah timbangan kebaikannya diakhirat kelak.

Selain sebagai orang yang taat beribadah, Amir dikenal dermawan dan memiliki hubungan baik dengan siapapun, dengan atasan, bawahan, rekan sejawat ataupun klien yang selalu dilayaninya dengan senyuman. Apa lagi setelah pulang dari menunaikan ibadah haji, kesholehan Amir semakin tampak nyata.

Hampir setiap hari Amir mentraktir makan siang stafnyanya di kantor. Seperti siang ini, Amir mengumumkan kepada semua stafnya bahwa siang ini mereka mendapatkan rejeki dari klien dan akan digunakan untuk membeli makan siang, jadi setiap orang tidak perlu mengeluarkan uang dari kantong sendiri untuk makan siang.
Dalam setiap lebaran pun Amir selalu memberikan THR yang cukup besar bagi stafnya. Staf dengan pangkat yang terendah diberi THR Rp500ribu dan terus meningkat seiring dengan pangkatnya masing-masing. Bukan hanya itu saja, Amir menganut filosofi kinerja, siapa saja stafnya yang rajin bekerja akan mendapatkan bonus yang lebih dari yang lainnya. Ia selalu transparan pada stafnya dari setiap rejeki yang diterimanya dari klien, ia tidak ingin dicap sebagai atasan yang serakah. Para stafnya pun merasa beruntung memiliki atasan seperti Amir.

Dalam lingkungan tempat tinggalnya pun Amir sangat dikenal karena kebaikan dan kedermawanannya. Ia tercatat sebagai donatur tetap kegiatan-kegiatan dan aktivitas di masjid dan lingkungan warga. Bila ada kesulitan dana, para pengurus tinggal bertamu ke rumah Amir, maka masalah kesulitan dana pun akan teratasi. Siapapun maklum bahwa Amir adalah seorang pejabat di kantor pemerintah sehingga dinilai memiliki pendapatan atau rejeki yang banyak.

Setiap orang yang mendapatkan kebaikan dari Amir akan selalu mendoakannya agar selalu dimurahkan rejekinya dan diterima amal ibadahnya. Amir pun dengan rendah hati berkata, “ini adalah rejeki dari allah, hanya saja saya diberikan kepercayaan untuk menyalurkannya pada bapak2 sekalian”

Amir sangat lega bisa membantu orang2 disekelilingnya. Ia sangat iklas membantu orang yang membutuhkan, ia berharap semua yang dilakukannya akan menjadi amal jariyah bagi dirinya dan keluarganya. Ia selalu berdebar bahagai saat orang2 atau ustadz yang diberikannya shodaqoh, infaq atau zakat selalu mendoakannya kebaikan bagi dirinya dan keluarganya di dunia dan akhirat. Apa lagi setiap ceramah di masjid yang dihadirinya para ustadz selalu memberi nasehat sebagai berikut:

- Jika anak Adam meninggal, maka amalnya terputus kecuali dari tiga perkara, sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang berdoa kepadanya. (HR Muslim).
- Dalam riwayat Ibn Majah, Rasulullah SAW menambahkan tiga amal di atas, Rasulullah SAW bersabda, 'Sesungguhnya amal dan kebaikan yang terus mengiringi seseorang ketika meninggal dunia adalah ilmu yang bermanfaat, anak yang dididik agar menjadi orang shaleh, mewakafkan Alquran, membangun masjid, membangun tempat penginapan bagi para musafir, membuat irigasi, dan bersedekah.' (HR Ibn Majah)
- Allah SWT berfirman, 'Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka barang siapa berat timbangan kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.' (QS al-A′raf [7]: 8).

Amir merasa hidupnya bahagia dan benar-benar diberkati. End.

Catatan:
Para ustadz mungkin lupa memberikan ceramah yang lengkap dan seimbang ataupun mungkin Amir tidak suka membaca literatur yang lebih lengkap berkaitan dengan ibadah dan muamalah, diantaranya:
- Siapa yang memakan harta haram maka sholatnya tidak diterima selama 40 hari. Jadi kalau setiap hari makan uang haram, entah kapan sholat kita akan diterima??? Bagaimana dengan amal2 yang lainnya???

- Zakat adalah untuk membersihkan harta yang diperoleh secara halal. Dalam usaha memperolehnya dikuatirkan ada sedikit hal2 yang makruh ataupun haram yang ikut serta sehingga dengan zakat harta akan menjadi bersih. Tentu saja zakat, infaq, shodaqoh dan lain sebagainya tidak bisa diterapkan pada harta yang semua atau sebagian besarnya diperoleh dengan tidak benar.

Selasa, 15 April 2008

Menghindari Peluang Korupsi Dengan Transparansi Dokumen Anggaran

Dokumen anggaran adalah sumber pendanaan aktivitas suatu kantor. Dalam instansi pemerintah dokumen ini disebut DIPA yaitu dokumen isian pelaksanaan anggaran. Dalam DIPA terdapat batas tertinggi (pagu) anggaran untuk suatu kegiatan. Pagu anggaran tersebut untuk membiayai kegiatan-kegiatan operasional/rutin suatu kantor dan kegiatan-kegiatan lainnya yang bersifat penambahan asset.

Sebelum menjadi DIPA, masing-masing satuan kerja (satker) atau kantor mengajukan usulan rencana kegiatannya selama satu tahun yang akan dibiayai dalam DIPA. Setelah melalui pembahasan dan analisis dengan pihak-pihak yang berwenang dalam menentukan anggaran, maka DIPA pun disetujui. Disetujuinya DIPA ini tidak berarti setiap satker bebas menggunakannya. Mekanisme penggunaan dana dalam DIPA ini harus sesuai dengan aturan yang berlaku yaitu Keppres No. 80 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Instansi Pemerintah.

Meskipun sudah ada mekanisme khusus dalam proses penggunaan dana DIPA juga terdapat peluang KKN yang dapat merugikan satker bersangkutan dan masyarakat yang dilayani secara khusus dan merugikan negara pada umumnya. Diantaranya adalah penggunaan dana untuk keperluan lain yang tidak sesuai dengan DIPA yang kemudian dipertanggungjawabkan seolah-olah telah digunakan sesuai dengan peruntukannya dalam DIPA, Pertanggungjawaban dana yang lebih besar dari pengeluaran yang seharusnya (mark up), pemecahan kegiatan agar tidak dilakukan pelelangan, dan proses pengadaan barang/jasa fiktif.

Untuk mencegah dan meminimalisir kemungkinan KKN dalam penggunaan DIPA ini dapat dilakukan dengan mekanisme transparansi. DIPA bukanlah dokumen rahasia sehingga setiap anggota satker dapat mengetahui apa saja kegiatan yang ada didalamnya dan berapa jumlah dananya. DIPA dan realisasinya seharusnya diumumkan (misalnya dalam papan pengumuman kantor) agar setiap anggota satker dapat memonitor kegiatan apa saja yang dilakukan dan apakah penggunaan dananya telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Contoh:

1. Dalam DIPA tercantum kegiatan pengadaan pensil untuk semua pegawai kantor yang berjumlah 40 orang selama satu tahun. Berarti setiap pegawai berhak mendapatkan sebuah pensil untuk menjalan pekerjaannya dalam satu tahun. Bila seorang pegawai atau lebih tidak mendapatkan sebuah pensil, maka yang bersangkutan akan bertanya mengapa bisa terjadi demikian padahal dana pembelian pensil telah tersedia. Demikian juga dengan merk dan harga pensil. Informasi tentang merk pensil dan harganya dapat dengan mudah didapatkannya. Pegawai yang menerima pensil dengan merk tertentu dapat mengkalkulasikan harga pengadaan pensil selama satu tahun sehingga dengan mudah dapat mengetahui apakah dana dalam DIPA telah digunakan dengan benar, ada kelebihan atau kekurangan dana.

2. Kantor berencana membeli sebuah komputer dan printer dengan pagu dana masing masing Rp8juta dan Rp500ribu. Informasi mengenai merk dan harga computer/printer di pasaran tentunya bisa diketahui oleh pegawai. Bila komputer dan printer yang dibeli kantor harganya tidak sesuai (lebih tinggi) dari harga pasar untuk merk tertentu, maka hal ini dapat diketahui dan dilaporkan kepada pihak-pihak terkait.

Transparansi dapat membawa pada akuntabilitas. Dengan adanya transparansi maka peluang dan niat tidak baik dari para pengambil keputusan dapat diminimalisir dan dicegah agar tidak menjadi kenyataan. Ingat!!! Kejahatan timbul bukan hanya karena ada niat, tetapi karena adanya kesempatan. Waspadalah!!! Waspadalah!!! Dan transparansi membuat kita semua menjadi waspada!!!

Jumat, 07 Maret 2008

Komersialisasi Model Indonesia




Di mana-mana orang membutuhkan uang. Tetapi haruskah uang mengorbankan segala-galanya? Idealisme, Kemanusiaan, Tolong-Menolong, Sportifitas dan nilai-nilai positif lainnya seringkali dikalahkan oleh kebutuhan akan uang. Pada tahap awalnya mungkin hanya dilakukan karena kebutuhan akan uang untuk menutupi kebutuhan dasar, tetapi lama-kelamaan akan menjadi pemicu materialisme, sehingga memunculkan keserakahan, ingin untung sebesar-besarnya bahkan berujung pada tindakan amoral dan kriminal seperti korupsi, penipuan dan lain sebagainya.

Istri saya pernah sangat terkaget-kaget dengan perilaku materialisme pada orang yang baru dikenalnya yang dikira hendak menolong. Saat itu Istri saya sedang mencari rumah kontrakan. Setelah berkeliling seharian tidak kunjung menemukan rumah yang cocok. Ada yang kosong, namun lokasi dan fasilitasnya tidak mendukung untuk kehidupan saya, istri dan anak. Dalam perjalanannya, istri saya melihat sekelompok wanita-wanita yang sedang mengobrol di depan rumah mereka. Istri saya pun menyapa mereka dan bertanya apakah mengetahui ada rumah kontrakan disekitar lingkungan mereka. Seorang wanita memberitahu ada rumah kontrakan yang ia ketahui dan menawarkan diri untuk mengantar. Istri saya pun dengan senang hati menerimanya. Akhirnya karena sudah harus pindah dan tidak ada pilihan lain, istri saya pun memilih mengontrak rumah tersebut.

Kami pun pindah rumah kurang lebih jam 4 sore. Saya dan istri beres-beres membersihkan rumah hingga memasang kawat nyamuk, tak terasa waktu sudah melewati magrib. Kamipun beristirahat sementara untuk sholat dan makan malam. Ditengah kelelahan, istri saya menyiapkan makan malam dan saya membersihkan diri agar lebih segar untuk melanjutkan pengaturan rumah setelah makan malam.

Disaat kami bersantap malam, ada suara ketukan di pintu rumah kami. Kami pun bertanya-tanya siapa yang datang, karena kami belum berkenalan dengan tetangga sekitar. Apalagi kami sedang tidak mengharapkan kedatangan tamu karena rumah masih berantakan dan kondisi tubuh yang kelelahan. Dengan rasa malas dan sedikit bingung istri saya membuka pintu. Tak lama kemudian istri menemui saya dengan wajah kesal, saya pun bertanya siapa yang datang. Istri memberitahu bahwa yang datang adalah wanita yang pernah mengantarnya ke rumah kontrakan kami dan beliau datang meminta “komisi” atas jasanya mengantar istri saya mendapatkan rumah kontrakan. Wanita tersebut menyebutnya dengan istilah “minta uang jajan”.

Istri saya nampak kesal dan marah. Ia tidak menyangka ternyata pertolongan yang diterimanya karena ada pamrih untuk mendapatkan uang. Padahal sebelumnya tidak ada sedikitpun perbincangan bahwa wanita tersebut bersedia mengantarkan asal diberi uang. Apalagi kami baru beberapa jam menempati rumah dan sedang kelelahan membersihkan rumah. Istri saya pun memberikan uang sekadarnya kepada wanita tersebut, dan walaupun wajah wanita tersebut menunjukkan tidak puas, akhirnya ia pun pergi. Dari informasi pemilik rumahpun diketahui bahwa wanita tersebut juga meminta komisi atas jasanya mengantarkan pelanggan. Hal semacam ini sudah beberapa kali terjadi saat kami hendak pindah rumah.

Mungkin karena kesal dengan pengalaman tersebut, istri saya jadi sangat berhati-hati apabila hendak meminta tolong pada orang yang tidak dikenal ataupun jika ada orang yang akan “menolong”, walaupun hanya sekedar menanyakan jalan atau alamat suatu tempat. Istri saya selalu memastikan apakah ada uang yang harus dikeluarkan dan berapa jumlah pastinya agar nanti tidak menimbulkan kesalahpahaman. Istri saya pernah bertanya kepada saya, “Apa tidak ada lagi orang yang baik/iklas di dunia ini???” Ia kesal bukan karena harus mengeluarkan uang untuk membayar honor mereka yang menolong yang ternyata calo, tetapi kesal karena hal tersebut tidak dijelaskan di awal dan dipastikan berapa tarif yang harus dibayar, sehingga membingungkan dan bisa terjadi salah paham. Apalagi para “penolong” tersebut akan bermuka masam dan tidak senang bila tidak berkenan dengan jumlah uang yang diberikan. Kalau sebelumnya diberitahukan bahwa “pertolongan” tersebut harus dibayar dan ditetapkan berapa jumlahnya, tentu istri saya bisa memutuskan apakah akan “memakai” pertolongan tersebut ataukah tidak, juga bisa menawar bila harga yang ditetapkan kemahalan. Istri saya merasa ditipu dan dibodohi oleh mereka yang menawarkan pertolongan, harga dirinya merasa direndahkan.

Fenomena yang dialami istri saya ternyata adalah gambaran dari kehidupan masyarakat kita sekarang ini. Segala sesuatu lebih bermakna jika dinilai dengan uang. Prinsip yang dipegang teguh sekarang ini adalah “iklas tidak membuat kenyang, tidak membuat kaya dan tidak membuat senang”. Nyaris segala sektor harus berhubungan dengan sifat materialisme dan komersialisme yang mendewa. Maka tidak heran jika Indonesia terkenal menjadi salah satu negara terkorup di dunia, selain sebagai ladang komersialisasi dan kapitalisme yang subur.

Salah satu contoh nyata komersialisasi dan kapitalisme untuk mendapatkan uang dan untung sebanyak-banyaknya adalah menjamurnya acara reality show pencarian bakat di Indonesia. Ambil contoh “American Idol”. Di negara asalnya, acara ini adalah untuk mencari bintang baru penyanyi berbakat yang disenangi mayoritas publik. Setidaknya menjadi mayoritas dari poling lewat telepon dan sms yang masuk. Walaupun memang acara ini erat kaitannya dengan materialisme, komersialisasi dan kapitalisme, namun prinsip-prinsip persaingan sehat dan kompetisi tetap diutamakan.

“American Idol” berhubungan erat dengan materialisme, komersialisasi dan kapitalisme bisa dilihat dari motivasi peserta yang berpartisipasi yaitu harta dan ketenaran. Acara ini juga diadakan sekaligus untuk menciptakan konsumen baru yang bisa langsung “tune in” dengan bintang baru, sehingga kemungkinan besar bintang yang menang dari hasil polling nantinya akan mudah mendapatkan pangsa pasarnya saat mengeluarkan album ataupun mengadakan tour pertunjukan. Walaupun demikian, prinsip persaingan dan kompetisi sehat pun juga tidak dilupakan. Setiap orang: remaja atau dewasa (tentu saja ada batasan umur), cantik atau jelek, hitam atau putih, dari ras manapun, semuanya mempunyai kemungkinan untuk menang dan menjadi bintang bila hasil pollingnya unggul. Hasil pollling ini dilakukan gratis dengan jaringan komunikasi dari sponsor dan dengan tarif normal baik sms ataupun telpon bagi yang menggunakan jaringan komunikasi lainnya. Sistem yang diberlakukan pun “one number one vote”. Jadi setiap orang yang suka dapat memilih idolanya tanpa dibebani biaya mahal ataupun diiming-imingi hadiah undian. Hal ini secara relatif akan menimbulkan persaingan sehat diantara para kandidat untuk merebut simpati publik dengan kemampuan yang mereka miliki, sehingga yang terpilih adalah benar-benar bintang pilihan publik yang mempunyai kans besar untuk sukses albumnya dipasaran.

Sayangnya acara ini semacam ini begitu diadopsi di Indonesia mengalami “dekadensi moral” dan penurunan kualitas. Materialisme, komersialisasi dan kapitalisme semakin menggila dan membunuh kompetisi dan persaingan sehat. Polling yang dilakukan dikenakan biaya premium mencapai puluhan kali lipat dari biaya standar. Setiap orang pun bisa mengirimkan sms sebanyak-banyaknya dari satu nomor telepon. Apalagi ada iming-iming hadiah undian mobil, motor dan sebagainya, sehingga yang mengirim sebanyak-banyaknya mendapatkan peluang yang lebih besar untuk menang.

Hakekat untuk memilih bintang sudah ternodai oleh praktek perjudian. Persaingan sehatpun menjadi hilang karena setiap kandidat bisa bekerja keras diluar panggung yang tentu saja lewat tim yang biasanya merupakan orang tua dan keluarga dekat dengan mengeluarkan modal puluhan hingga ratusan juta rupiah untuk membeli pulsa demi mendukung anggota keluarga mereka menjadi bintang baru. Bisa juga dengan memanfaatkan kedekatan daerah, suku bahkan jabatan publik agar mendapatkan dukungan sms sebanyak-banyaknya. Bahkan tersiar berita seorang pejabat menginstruksikan pada semua pegawainya dan keluarga serta rakyat di daerahnya untuk mengirimkan sms guna mendukung kandidat yang berasal dari daerahnya. Sang Pejabat pun merasa bangga dan tidak malu-malu lagi hadir dalam acara pemilihan bintang atau idola yang di siarkan langsung televisi, seolah-olah sudah tidak ada lagi yang lebih penting dikerjakan berkaitan dengan kepentingan publik.

Hasil akhir dari pemilihan idola dan bintang di Indonesia seperti ini akhirnya menghasilkah idola dan bintang sesaaat. Bukan bintang dan idola yang saat mengeluarkan album akan laku. Selanjutnya kebintangan mereka pun tenggelam tidak tentu lagi rimbanya. Setahu saya tidak ada album dari sang pemenang polling reality show tersebut yang meledak dipasaran. Hal ini tidak mengherankan mengingat mereka menjadi juara karena faktor keterpaksaan bukan karena kesukaan publik. Koran pernah memuat berita bahwa keluarga seorang pemenang reality show menyanyi mengeluarkan ratusan juta rupiah untuk membeli dan membagi-bagikan pulsa. Sudah jelas terlihat bahwa acara semacam ini di Indonesia hanya dijadikan ajang kaum kapitalisme menangguk untuk besar dengan cepat, tanpa peduli dengan kualitas yang dimunculkan.

Hal serupa ini juga dapat ditemui dalam segala aspek kehidupan di Indonesia. Uang adalah panglima. Siapa yang memiliki uang maka dialah pemenangnya. Coba lihat kasus-kasus hukum yang seringkali dimenangkan hanya oleh mereka yang memiliki uang. Para pelanggar ruang publik/hijau berupa pedagang kaki lima, gelandangan, orang miskin tak ragu-ragu digusur padahal tak jauh dari tempat tersebut terdapat pom bensin dan mal-mal yang mencuri ruang publik/hijau namun tidak tersentuh penertiban. Partai-partaipun tidak mau kalah, yang berhak menjadi pejabat adalah siapa yang memberi uang terbanyak bagi partai maka pasti akan ada di nomor urut jadi.

Sudah sedemikian parahkah bangsa kita yang konon dulunya terkenal santun dan taat beragama??? Atau jangan-jangan ini baru tahap awal dari kerusakan yang lebih parah yang akan kita tuju?????

(Jumat, 070308)

Pemilihan Umum VS Pemilihan Elit







Jadi Anggota Legislatif Karena Pilihan Rakyat atau Karena Nomor Urut???
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) beberapa kali menemui jalan buntu karena ketidaksepahaman dan ketidaksepakatan terhadap beberapa klausul, yang seharusnya bila semuanya menggunakan akal sehat dan logika maka tidak akan terjadi perbedaaan pendapat. Salah satu klausul tersebut adalah “penentuan calon anggota legislatif (caleg) apakah dengan menggunakan nomor urut ataukah dengan suara terbanyak”.

Penentuan caleg dengan menggunakan nomor urut adalah masing-masing caleg dengan nomor urut teratas mempunyai kesempatan lebih besar untuk menjadi anggota legislatif bila kuota suara rakyat yang didapatkan tidak memenuhi syarat. Dampak yang ditimbulkan oleh mekanisme ini adalah:

1. Mereka yang mendapatkan nomor urut 1 mempunyai kesempatan lebih besar dari nomor urut 2, 3 dan seterusnya walaupun dalam pemilu hanya mendapatkan suara yang sedikit dibandingkan caleg lainnya yang berada pada nomor urut dibawahnya. Bahkan caleg nomor urut 1 tetap berpeluang besar menjadi anggota legislatif walaupun tidak mendapatkan satu suara pun.
2. Caleg dalam nomor urut besar (2, 3, 4 dan seterusnya) yang mendapatkan suara rakyat terbanyak namun tidak memenuhi syarat jumlah suara akan tersingkir oleh caleg dengan nomor urut 1 atau nomor urut jadi yang hanya dipilih oleh sedikit rakyat atau bahkan tidak dipilih sama sekali.

Penentuan caleg dengan suara terbanyak adalah bila tidak ada satupun caleg yang jumlah suaranya memenuhi syarat maka yang terpilih adalah mereka yang mendapatkan suara rakyat terbanyak meskipun berada pada nomor urut 4, 5 atau bahkan nomor urut ke-100. Dengan mekanisme ini, nomor urut bukanlah faktor penentu keberhasilan seorang caleg. Untuk menjadi anggota legislatif seorang caleg harus berusaha ekstra keras menarik simpati rakyat agar mau memilih dirinya. Disinilah faktor ketokohan, dekat dengan rakyat dan dipercaya rakyat menjadi faktor penentu keberhasilan.

Dari ilustrasi di atas sudah bisa ditebak mekanisme mana yang seharusnya cocok dan dipilih dalam penentuan anggota legislatif. Pemilihan umum sebagaimana namanya harusnya menjadi milik umum dan memberikan kemenangan bagi umum. Umum bila dikaitkan dengan jumlah selalu berkorelasi dengan banyak. Bila satu suara pemilih (A) dibandingkan dengan dua suara pemilih (B), maka yang memenuhi syarat untuk mewakili umum adalah B. Bila 30 suara pemilih (X) dibandingkan dengan 10 suara pemilih (Y), maka yang berhak mewakili umum adalah X. Bila 50 suara pemilih (C) dibandingkan dengan 49 suara pemilih (D), maka yang berhak mewakili umum adalah C. Demikian seterusnya. Hanya orang yang logikanya “tidak beres” yang berpendapat sebaliknya.

Jadi, seharusnya tidak perlu ada perdebatan dan perbedaan pendapat mengenai mekanisme mana yang dipilih dalam penentuan caleg, apakah dengan nomor urut atau suara terbanyak. Kembalikan saja semuanya pada hakikatnya yaitu Pemilihan “UMUM”.

Mengenai penentuan caleg ini, saya jadi ingat dua kejadian pada pemilu 2004 lalu, yaitu:
1. Adanya fakta bahwa untuk anggota DPR periode 2004-2009 yang benar-benar dianggap layak untuk menjadi anggota DPR adalah DR. Hidayat Nurwahid karena hanya dia mendapatkan suara yang terbanyak yaitu mencapai angka satu juta pemilih.

2. Adanya berita yang ditayangkan beberapa televisi pada pemilu 2004 lalu.
Berita tersebut tentang seorang wanita separuh baya yang sangat marah karena dirinya ditempatkan sebagai caleg nomor urut 3 oleh sebuah partai, padahal ia dijanjikan nomor urut jadi (no.1) setelah membayar Rp50juta kepada partai. Dalam tayangan televisi, wanita tersebut mendatangi kantor sebuah partai dengan membawa sebilah senjata tajam panjang (parang) kemudian mengacungkannya dan menebas apa saja yang berkaitan dengan partai tersebut. Dari pagar kantor hingga tiang bendera partai hingga umbul-umbul partai menjadi sasaran murkanya.

Mengapa wanita tersebut demikian murkanya??? Mungkin wanita tersebut putus asa karena yakin dirinya tidak akan terpilih menjadi anggota legislatif karena tidak diberikan nomor urut jadi seperti yang dijanjikan padanya dengan membayar Rp50juta. Wanita tersebut sadar bahwa uang yang telah dibayarkannya agar terpilih menjadi anggota legislatif yang akan bergelimang kemewahan, tidak akan kembali dan memberikan keuntungan berlipat ganda seperti yang terjadi pada orang lain atau seperti yang dijanjikan partainya.

“Mungkin rakyat kita memang mayoritasnya tidak berpendidikan dan masih bodoh. Tegakah kita memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi dan kelompok?

Gerakan Memilih “Orang Baik” Dalam Pemilu


Pemilihan Umum 2009 tinggal satu tahun lagi. Bila kita tidak ingin memilih para wakil rakyat yang tukang bohong, koruptor, pemain film porno, penikmat hedonis dan kemewahan, tidak peka pada penderitaan rakyat - dan sebagainya yang bila semuanya ditulis berdasarkan pengalaman yang terjadi selama ini, maka daftar keburukannya akan saaangat panjang – maka mungkin kini sudah saatnya membuka semua panca indera kita termasuk indera keenam dan ketujuh agar dapat mengetahui mana “orang baik” dan mana orang buruk yang akan menjadi wakil rakyat.


Mengingat banyak partai yang tidak bisa menyaring secara ketat para caleg atau kader yang disodorkan pada rakyat agar dapat meloloskan wakil rakyat yang berkualitas, maka yang menjadi penentu adalah diri kita sendiri. Apalagi Pemilu adalah sistem yang menentukan masa depan kita maka mau tidak mau kita harus berpartisipasi. Golput adalah pilihan yang menggiurkan, namun mungkin lebih baik bila kita diatur oleh orang yang kita pilih sendiri dibandingkan kita diatur oleh orang yang tidak kita pilih. Dengan demikian bila kita kecewa maka kita punya hak untuk marah dan murka dengan menghukum mereka yang tidak amanah dengan mencabut amanah tersebut dalam pemilu. Mungkin hukuman ini tidak “seberapa” namun selama kita masih percaya adanya hari akhirat, maka kita dapat menuntut hukuman yang lebih berat bagi para wakil rakyat tersebut di hadapan Tuhan kelak.


Dalam pemilu nanti mari kita pilih orang-orang baik bukannya para bromocorah tak perduli apapun partainya. Bila nanti orang-orang baik yang pantas dipilih memang hanya sedikit, maka biarkanlah terjadi apa adanya. Lebih baik punya wakil rakyat yang sedikit tapi baik daripada 500 orang yang mayoritasnya buruk sehingga hasilnya pun akan buruk.


Bayangkan nanti saat pemilu, semisal orang2 baik dari sekian ribu daftar yang disodorkan partai-partai hanya berjumlah 10 orang, maka marilah kita pilih ke-10 orang tersebut dan kita acuhkan ribuan orang lainnya. Hal ini mungkin akan memberikan efek yang sangat besar bagi bangsa ini. Bayangkan bila ada 100 juta orang pemilih dan semuanya hanya memilih 10 orang baik tersebut, maka bila dibagi rata, satu orang baik akan mempunyai suara sebanyak 10 juta pemilih dan caleg lainnya hanya mendapatkan 0 suara. Ini akan memberikan pelajaran rasa malu dan tahu diri bagi para wakil rakyat yang dinilai rakyat kurang baik. Dan juga memberi pelajaran bagi partai agar hanya memilih orang-orang baik bukannya orang-orang buruk yang karena berduit atau memiliki pengaruh dan kekuasaan maka bisa mendapatkan apa saja yang mereka mau.


Jadi ingat!!! Apapun partainya, pilihlah orang-orang baik yang ada didaftar caleg walaupun jumlahnya sangat sedikit. Masa depan kita akan lebih baik bersama orang-orang baik. Saatnya kita benar-benar memilih!!!

Sabtu, 02 Februari 2008

Mental Raja



Bukannya saya tidak setuju ataupun tidak senang dengan remunerasi DEPKEU. Bahkan jantung saya dan istri sampai "deg-deg" keras saat mengetahui nanti kami akan mendapatkan penghasilan yang belum pernah saya terima sebelumnya. Istri saya sudah membayangkan dan memimpikan dalam tahun 2008 ini kami akan mampu membeli rumah sederhana di pinggiran Jakarta berkat remunerasi Depkeu dengan fasilitas KPR ataupun Kredit Komersial Bank:) Rasanya sudah tidak sabar menunggu impian itu terwujud (amin1000X). Maklumlah, sudah 10 tahun jadi PNS Depkeu masih belum mampu membeli rumah sederhana sehat alias masih status "kontraktor" :).

Tapi melihat apa yang kita (para pegawai negeri) telah lakukan dan sedang dilakukan, rasanya tidak pantas dan malu menerima penghasilan yang lumayan besar (ukuran saya). Bagi PNS yang memang kinerjanya luar biasa dan memberi manfaat yang besar bagi rakyat (masyarakat), remunerasi itu sangat pantas. Tapi mungkin realitanya belum seperti yang diharapkan.

Melihat beberapa pihak di negara ini yang sibuk mencari keuntungan buat diri sendiri tanpa memperdulikan kemampuan negara, rakyat dan realita, saya jadi teringat cuplikan kalimat dari situs yang membahas tentang keuangan negara yang kurang lebih (kalo gak salah) menyebutkan bahwa anggaran negara itu berawal dari SANG RAJA MINTA UANG.

Sepintas keadaan negara ini memang mirip kerajaan dibanding sebuah republik yang demokratis. Para pejabat dan aparat negara kebanyakan bertingkah seperti raja dan bangsawan. Mental yang ditonjolkan sehari2 adalah mental raja dan bangsawan. Saya yang berkuasa, saya yang punya, saya minta, saya harus dapat!!!

Seorang raja kalo menginginkan sesuatu maka harus dipenuhi. Entah Gaji puluhan hingga ratusan juta, rumah dinas, laptop, kulkas, uang legislasi, perjalanan dinas, proyek, tangkap itu, tangkap ini dan banyak lagi dan sebagainya. Kalo tidak dipenuhi maka konsekuensinya selalu ada dan bisa gawat.

Kebalikannya, seorang raja/bangsawan cenderung tidak perduli dengan rakyat jelata disekitarnya. Gimana mau perduli? Para raja/bangsawan tinggal di istana marmer dengan tembok tinggi, kamera pengawas, satpam, bodyguard dan anjing bulldog penjaga. Para raja/bangsawan setelah kekenyangan lalu menonton sinetron, main band, karaoke, plesir dan senang2. Setelah cape' sang raja/bangsawan mengantuk dan tertidur dikasur dan bantalnya yang empuk dengan hembusan AC yang sejuk, atau tidur di mobil, pesawat atau kapal pesiarnya yang mewah. Sang raja/bangsawan kemudian bangun karena merasa lapar dan ingin makan. Raja tinggal perintah dan minta, makanan & minuman yang mewah pun sudah berpindah ke dalam perut.

Sementara itu rakyat banyak yang kelaparan, busung lapar, bodoh karena tidak sekolah, dianiaya majikannya, dihukum mati, dipancung, menjadi "p" karena ekonomi, sakit yang tidak sembuh, sakit berjamaah (malaria, dbd, etc), dan tinggal menunggu takdir selanjutnya yang entah baik entah buruk. Mereka tidak bisa berharap lagi dengan sang raja dan para bangsawan.

Tapi hal ini tidak terjadi lho saat sang raja dan bangsawannya seperti Umar bin Khattab, Umar bin Abdul Azis, dan mereka yang perduli dengan rakyatnya. Tapi mungkinkah???

Tanpa sadar sekarang saya juga seorang bangsawan ya? Pantaskah???