Kamis, 12 Juni 2008

Anti Korupsi "in Appearance" and "in Fact"

Konsiderans UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa: “tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA, tetapi juga MERUPAKAN PELANGGARAN TERHADAP HAK-HAK SOSIAL DAN EKONOMI MASYARAKAT SECARA LUAS, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa”.

Hak2 sosial dan ekonomi merupakan bagian dari HAM DASAR, dan pelanggarannya merupakan kejahatan tingkat berat, begitu juga pelakunya merupakan penjahat kelas berat, jadi dapat juga dikatakan bahwa korupsi adalah kejahatan terhadap HAM dan Koruptor adalah pelanggar HAM tingkat berat.
Apa yang sudah kita (kantor) lakukan sehubungan dengan korupsi/koruptor yang merupakan pelanggaran HAM berat??? Langkah2 apa yang sudah kita lakukan? Apakah langkah2 itu adalah tindakan yang biasa atau luar biasa atau tindakan yang tidak biasa? Apakah PERBAIKAN REMUNERASI termasuk tindakan biasa, luar biasa atau tidak biasa dalam pemberantasan korupsi??? :) Apakah yang bisa kita (kantor) lakukan???

Meskipun UU diatas menyatakan “pemberantasan korupsi harus dilakukan secara LUAR BIASA”, ternyata banyak hal-hal kecil yang biasa-biasa saja dan bisa kita (kantor) lakukan, tetapi “tidak biasa” dilakukan sebelumnya. Hal-hal biasa itu adalah melakukan aktivitas anti KKN dalam pengertian “in appearance” (dalam penampilan) dan “in fact” (dalam kenyataan/realitas).

Anti KKN dalam PENAMPILAN (in appearance)
Anti KKN dalam penampilan mirip dengan sosialisasi bahwa kita (kantor) bukan bagian dari koruptor. Hal ini bisa dilakukan dengan spanduk, stiker, pamflet bahwa kita (kantor) tidak menerima suap, sogokan, amplop, lampiran dan apapun namanya ataupun dalam bentuk apapun. Kalau kita (kantor) “mau”, dapat diedarkan sumbangan suka rela (infaq/sedekah?) untuk membuat suatu spanduk anti KKN, misal: “Anda Memasuki Kantor Bebas/Anti KKN!!!” atau/dan “KKN adalah Kejahatan Luar Biasa dan Pelanggaran HAM Berat” atau/dan “KKN Penyebab Busung Lapar dan Kelaparan Saudara-Saudara Kita”, atau/dan sebagainya. Atau dapat juga dengan membuat sejenis PIN yang bertuliskan "Saya Tidak Korupsi" yang disematkan di dada tiap pegawai. Dengan demikian masyarakat yang dilayani dapat merasa aman dan nyaman saat berurusan dengan kantor pelayanan publik.

TAPI INGAT!!! Dananya jangan mengambil dari DIPA bila tidak ada peruntukannya/tidak diperkenankan alokasinya. Dana bisa dari infaq/shadaqah dari pegawai yang concern, ataupun berdasarkan policy dari jajaran pimpinan kantor. Misal KPPN Percontohan, terdiri dari 40 pegawai, setiap pegawai menyumbang sekitar Rp10.000,- maka tersedia Rp400.000, cukup untuk membuat 2-3 spanduk yang dipampang di gerbang/pagar masuk, pintu masuk kantor dan tempat lainnya yang strategis. Saya yakin para pegawai KPPN Percontohan ataupun pegawai Depkeu secara umum tidak akan keberatan menyumbang Rp10.000,- ataupun lebih mengingat REMUNERASI nya yang relatif sangat memadai. Bila memungkinkan kita (kantor) dapat membuat stiker anti KKN yang dibagikan kepada klien/bendaharawan/rekanan atau tamu2 lain yang datang.

Dan atau bisa juga dengan membuatnya sendiri menggunakan komputer & printer kantor yang saya yakin tidak menyalahi aturan karena masih dalam kapasitas operasional kantor dalam rangka melaksanakan tugas sesuai dengan UU, yaitu bebas KKN. Kalau tidak bisa print warna, cukup hitam putih menggunakan font besar atau “Word Art” dengan “Line Font Hitam” tanpa “Fill Colour” dan dicetak dengan mode “Fast Draft” atau “Economode”. Setiap meja pegawai, pintu, kaca, dinding dan apapun yang memungkinkan dipasangkan poster/pamflet anti KKN buatan sendiri tersebut. Bahkan sekalian saja “Screen Saver” komputer kantor di set dengan tema anti KKN!!!

Anti KKN dalam REALITAS (in Fact)
Bila anti KKN dalam penampilan (in appearance) telah masif dilakukan, sedikit banyak membuat klien/bendaharawan/rekanan dan tamu2 lainnya akan merasa “aman” saat memasuki kantor dan bertemu kita. Hal ini juga menjadi atmosfer yang sedikit banyak akan mempengaruhi pegawai dan tamu2 yang “tidak waras” serta membuat lingkungan yang tidak kondusif bagi perilaku/pelaku KKN.
Tapi hal ini saja TIDAK CUKUP! Harus dibarengi dengan kontrol yang memadai, penerapan kode etik, dan reward & punishment yang tegas/jelas. Jangan lagi ada pegawai2 “istimewa/anak emas” yang melakukan “dosa” tapi dihukum ringan atau dihukum asal2an & akal2an. Misal Mr.X melakukan KKN di KPPN Percontohan A, tetapi hanya dihukum dengan mutasi ke seksi lain atau mutasi ke KPPN Percontohan B. Tidak ada sangsi kepegawaian sesuai ketentuan peraturan formal.

Bila hal-hal seperti ini tetap terjadi ataupun malah KKN dalam skala massal/mayoritas di kantor, maka spanduk/poster/pamflet yang merupakan upaya anti KKN dalam PENAMPILAN hanya akan menjadi LELUCON!!!.

Sebenarnya tidak sulit untuk memberantas or meminimalisir KKN, bahkan tidak perlu tindakan luar biasa (misal pasang kamera/penyadap). Hanya dengan tindakan yang biasa-biasa saja/tidak istimewa sudah cukup untuk menciptakan lingkungan bebas KKN. Yang diperlukan hanya KEMAUAN kita (dan kantor/pimpinan kantor).

Bila kantor dan atau jajaran pimpinan kantor belum concern dengan tindakan anti KKN yang murah dan biasa-biasa saja ini, MAUKAH kita? BERANIKAH kita? secara personal or “single fighter” melakukan anti KKN dalam PENAMPILAN pada properti di lingkungan sekitar kita sendiri seperti meja, kursi, komputer, motor, sepeda, dan lainnya? MAUKAH kita? BERANIKAH kita? untuk melakukan anti KKN dalam REALITA sehingga dengan tegas berkata “TIDAK” pada klien, rekan kantor, pimpinan atau siapapun berkenaan dengan KKN???

Ada yang mengatakan bahwa anti KKN tidak penting dengan kata2 yang penting adalah perbuatan. Ada benarnya, Tetapi dalam lingkungan yang KKN nya sudah sangat “JAHILIYAH”, bisa saja ini pernyataan ini merupakan sebuah “persiapan” bagi seseorang untuk “melarikan diri” ataupun untuk “pembenaran/rasionalisasi” bila suatu saat melakukan KKN. Misal: “Kan saya gak pernah janji anti KKN!” Yang jelas/pasti, bila sudah anti KKN dalam PENAMPILAN, maka kita sudah memberikan “sinyal” yang kuat dan dapat dilihat dari jauh bahwa “We allergic to KKN & never come to me”. Akhirnya bila anti KKN dalam PENAMPILAN (in appearance) tidak didukung oleh anti KKN dalam REALITA (in fact), berarti kita telah menjadikan diri sendiri sebagai LELUCON, dan ini hanya terjadi pada mereka yang sudah tidak mempunyai “RASA” lagi.

Minggu, 01 Juni 2008

PIN "SAYA TIDAK KORUPSI" PADA INSTANSI PELAYANAN PUBLIK


Penggerebekan suatu institusi pelayanan publik yang dilakukan KPK beberapa hari lalu menunjukkan hasil yang mengejutkan dan memalukan. Mengejutkan karena disinyalir transaksi suap yang terjadi dalam satu bulan mencapai 12,5 milyar. Di hari penggerebekan tersebut ditemukan uang sebesar 500juta dan berbagai barang bukti lainnya. Bayangkan tak terhingga banyaknya uang suap yang bisa dikumpulkan apabila KPK tidak kunjung melakukan penggerebekan.

Kejadian ini juga sangat memalukan bagi gerakan reformasi birokrasi yang dijalankan terutama dengan menaikkan remunerasi atau penghasilan para penyelenggara negara. Uang milik rakyat yang sebagian besarnya sedang dalam kemiskinan dan hampir jatuh miskin sengaja dialokasikan untuk memperbaiki kesejahteraan para birokrat dengan harapan akan memberikan kinerja dan pelayanan yang prima dan bebas KKN bagi rakyat, ternyata belumlah cukup berarti untuk menghilangkan buruknya mental, moral dan budaya birokrasi kita. Hal ini semakin memperpanjang catatan hitam para birokrat yang sudah digaji cukup tinggi bahkan sangat tinggi seperti yang pernah terjadi di institusi Pajak, Bea Cukai, Bank Indonesia, DPR bahkan KPK sendiri. Catatan hitam ini mungkin akan semakin panjang karena masih banyak institusi pemerintah yang terkesan “cuek” bahkan “untouchable” dengan gerakan pemberantasan korupsi.

Walaupun masih sering terjadi hal-hal yang memalukan, gerakan reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi tidak boleh mundur dan terhenti. Gerakan reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi harus tetap tegar berjalan maju dan melibas apa saja yang menghalanginya. Bila para koruptor dan kroni-kroninya menggunakan segala cara untuk melanggengkan aksinya, maka segala cara juga perlu diambil dalam gerakan reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi untuk menghentikannya, dari cara-cara yang sederhana hingga yang rumit dan menggunakan teknologi tinggi.

Pin Saya Tidak Korupsi

Tampaknya iklan-iklan, spanduk-spanduk dan pamflet anti korupsi yang dipajang di kantor-kantor pelayanan publik belumlah cukup ampuh untuk memberantas praktek suap dan korupsi yang telah membudaya dan terus ber-regenerasi. Bahkan di televisi sering kita saksikan saat penggerebekan dan penangkapan para oknum yang sedang “apes” juga terdapat slogan, iklan, pamflet, dan poster anti korupsi di kantor atau ruangan oknum yang bersangkutan. Mungkin semua itu hanya dianggap seperti rambu-rambu lalu lintas yang telah biasa dilanggar setiap hari yang bila tidak ada polisi atau tidak tertangkap basah berarti boleh untuk dilanggar, bahkan bila tertangkap pun masih terbuka jalan untuk berkelit dan berdamai.

Iklan-iklan anti korupsi dan sejenisnya yang tidak terlalu berdampak positif pada perilaku birokrasi kita mungkin saja dikarenakan karena yang bersangkutan merasa tidak “terbidik” atau tidak “terkena” secara pribadi dengan iklan-iklan tersebut. Oleh karena itu mungkin bisa dicoba cara dengan lebih melibatkan para birokrasi kita secara personal atau pribadi dalam gerakan pemberantasan korupsi termasuk dalam pengiklanan anti korupsi atau dalam bahasa marketingnya “Anti Corruption Self Marketing/Campaign”. Sudah saatnya kita mengangkat semua jajaran birokrasi kita sendiri sebagai bintang iklan pemberantasan korupsi.

Cara ini dapat ditempuh dengan membuat Pin yang bertuliskan “Saya Tidak Korupsi” yang wajib dipakai oleh penyelenggara negara dari level atas hingga level bawah. Pin “Saya Tidak Korupsi” ini disematkan di pakaian. Dengan adanya pin “Saya Tidak Korupsi” yang dipakai oleh setiap birokrat, maka otomatis setiap penyelenggara negara telah menjadi bintang iklan gerakan anti korupsi. Berarti setiap penyelenggara negara terlibat secara langsung dan pribadi dalam kampanye anti korupsi. Dengan demikian diharapkan dapat memberikan efek yang lebih mengena dalam aktivitas sehari-hari para birokrat terutama saat memberikan pelayanan publik. Hal ini harus didukung dengan sosialisasi dan peraturan yang tegas tentang pemakaian pin “Saya Tidak Korupsi”. Setiap pegawai wajib mengenakan pin tersebut dan setiap orang/masyarakat yang hendak berurusan dengan penyelenggara negara harus berurusan dengan pegawai yang menggunakan pin tersebut. Bila masyarakat dilayani oleh pegawai yang tidak memakai pin tersebut maka mereka berhak untuk memilih pegawai lain yang sedang memakai pin “Saya Tidak Korupsi” sekaligus melaporkan pegawai yang tidak mengenakan pin tersebut kepada atasannya ataupun pihak yang berwenang.

Setidaknya dengan penggunaan pin “Saya Tidak Korupsi” ini akan memberikan efek pencegahan secara timbal balik antara penyelenggara negara dengan masyarakat yang dilayani. Di satu sisi pegawai yang memakai pin “Saya Tidak Korupsi” akan merasa malu bila melakukan korupsi dan sejenisnya karena yang bersangkutan terlibat secara langsung dalam kampanye anti korupsi. Di sisi lain, masyarakat yang melihat pegawai yang mengenakan pin “Saya Tidak Korupsi” di bajunya akan berpikir panjang bila berniat melakukan penyuapan ataupun dapat langsung berani menolak bila dibebankan pungutan liar oleh pegawai yang nakal, atau paling tidak masyarakat dapat mempertanyakan ketidakkonsistenan pin yang dipakai pegawai dengan perilaku pegawai tersebut ataupun dengan mentertawai perilaku pegawai nakal tersebut bila memang tetap mendapatkan pelayanan yang korup.

Pemberantasan korupsi memang bukanlah hal yang mudah, tetapi juga bukanlah hal yang mustahil. Bukan mustahil pula bila korupsi dapat diminimalisir dalam waktu yang relatif singkat. Pendapat yang menyatakan pemberantasan korupsi membutuhkan jalan yang sangat panjang dan berliku agar bisa memberikan kesejahteraan bagi rakyat bisa saja memperlemah semangat anti korupsi masyarakat. Kelemahan ini mulai terlihat dari beberapa survey yang menyatakan masyarakat merindukan kehidupan “di masa lalu” di mana korupsi sangat menggurita namun tidak atau belum diekspos besar-besaran seperti sekarang.

Keberhasilan pemberantasan korupsi bergantung pada kesungguhan dan dukungan semua pihak. Segala cara patut ditempuh dalam rangka memberantas korupsi di negeri ini, dari cara-cara yang sederhana hingga cara-cara yang canggih baik dari segi pencegahan maupun tindakan tegas dengan penegakan hukum yang adil, transparan, dan konsisten. Dan salah satu indikator keberhasilan pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi adalah “saat di mana rakyat sudah merasa “aman” dan “nyaman” ketika menggunakan ataupun mengakses pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah dan dibiayai dari uang rakyat itu sendiri.

Indonesia Bebas Korupsi??? Itu Harus Bisa!!!