Rabu, 05 Desember 2007

KORUPSI, “EXTRA ORDINARY CRIME VS EXTRA ORDINARY ACTION”

Extra ordinary crime
Sejak dibentuknya lembaga independen anti korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 29 Desember 2003, cukup banyak kasus-kasus korupsi yang ditangani dan cukup banyak pula koruptor yang di penjara serta harus membayar kerugian negara yang diakibatkannya. Pertanyaannya sekarang adalah apakah hal tersebut cukup memadai untuk membuat negara kita “relatif” bersih dari korupsi? Kita semua sepakat menjawab “belum!” Dan pertanyaan berikutnya yang muncul kemudian adalah: Mengapa korupsi sulit sekali diberantas di negara kita?

Hasil survey dan pemantauan dari LSM anti korupsi di dalam dan luar negeri memberikan kesimpulan yang tidak jauh berbeda dari tahun ke tahun, yaitu Indonesia adalah negara terfavorit dan surga bagi para koruptor. Berdasarkan hasil survei tahunan Lembaga Political and Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 2004, Indonesia merupakan negara tertinggi tingkat korupsinya melampaui beberapa negara tetangga seperti Thailand, Filipina, Korea Selatan, Cina, dan Malaysia(1). Predikat juara korupsi Asia juga datang dari lembaga Transparancy International.

Angka kebocoran keuangan negara karena korupsi sebesar 30 persen dari APBN pada 1999, kini bertambah besar, mencapai angka 50 persen dari APBN tahun 2003, yakni sebesar Rp 166,53 triliun (laporan BPK semester I 2004)(2). Berdasarkan angka tersebut sangat jelas bahwa korupsi telah merampas hak mayoritas rakyat Indonesia yang seharusnya diberikan negara berupa pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan berbagai infrastruktur yang berkualitas seperti jalan, jembatan, transportasi, irigasi dan pengairan yang semuanya sangat penting bagi tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran.

Dengan banyaknya penderitaan dan permasalahan yang dialami negara kita (entah kapan berakhir), maka kita sepakat menyatakan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa kemanusiaan (extra ordinary crime) yang harus diberantas secepatnya. Hal ini ditegaskan dalam konsiderans UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: “tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa”.

Faktor-Faktor Penyebab
Terdapat berbagai pengertian korupsi yang diberikan banyak pemerhati masalah ini. Namun secara sederhana terdapat dua unsur yang melekat dalam korupsi yaitu negara rugi dan keuntungan pribadi. Dari sini korupsi dapat diberikan pengertian sebagai tindakan yang merugikan negara untuk keuntungan pribadi. Lalu faktor-faktor apa yang menyebabkan seseorang melakukan korupsi?

Menurut Bank Dunia ada lima faktor yang menyebabkan kegiatan korupsi timbul dan menjadi subur di suatu negara(3), yaitu:

1. Rendahnya akuntabilitas politik. Akuntabilitas politik merupakan pembatasan pada perilaku para politisi dan pejabat publik.

2. Lemahnya kemandirian institusi negara, terutama lembaga negara yang bertugas memeriksa penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga lainnya.

3. Rendahnya partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dapat membatasi pergerakan para koruptor. Fokusnya adalah meningkatkan kesadaran publik tentang bahaya korupsi.

4. Rendahnya kompetisi sektor usaha. Suatu negara berada dalam posisi yang lemah ketika kekuatan ekonomi hanya terkonsentrasi pada beberapa perusahaan atau industri dan saat ketertarikan untuk berkompetisi berkurang karena pembuatan keputusan yang tidak tepat.

5. Manajemen sektor publik yang tidak memadai. Manajemen internal sumber daya manusia dan administrasi yang baik dapat mengurangi peluang dan keinginan melakukan korupsi, mencakup pembenahan sistem kepegawaian yang mencakup pengangkatan, promosi dan evaluasi kinerja.

Sedangkan Psikolog Dr. Sarlito W. Sarwono, menyatakan bahwa tidak ada jawaban yang persis mengapa korupsi terjadi, tetapi menurutnya ada dua hal yang jelas(4), yakni:

a. Dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak dan sebagainya).
Merupakan aspek individu pelaku berupa sifat tamak, moral yang kurang kuat, penghasilan kurang mencukupi, kebutuhan hidup yang mendesak, gaya hidup konsumtif, malas atau tidak mau kerja, dan ajaran agama yang kurang diterapkan.

b. Rangsangan dari luar (dorongan teman-teman, adanya kesempatan, kurangnya kontrol dan sebagainya). Terdiri dari beberapa aspek, yaitu:

1. Aspek organisasi.
Internal organisasi yang mendukung berkembangnya perilaku korupsi antara lain kurangnya keteladanan pimpinan, tidak adanya kultur organisasi yang benar, sistim akuntabilitas yang kurang memadai, kelemahan sistim pengendalian manajemen, dan kecenderungan menutupi korupsi yang terjadi di dalam organisasi.

2. Aspek lingkungan.
Antara lain: nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi, masyarakat kurang menyadari sebagai korban utama korupsi, kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi, kurang menyadari bahwa korupsi bisa dicegah dan diberantas bila masyarakat ikut aktif.

3. Aspek peraturan perundang-undangan.
Adanya peraturan yang monopolistik dan hanya menguntungkan kroni penguasa, kualitas kurang memadai, kurang disosialisasikan, sangsi yang terlalu ringan, penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.

Korupsi oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Salah satu unsur penting yang berkaitan langsung dengan korupsi adalah birokrasi dalam hal ini pegawai negeri sipil (PNS). Banyak yang berdalih bahwa salah satu penyebab terjadinya korupsi adalah rendahnya gaji PNS. Benarkah demikian?

Studi yang dilakukan Bank Dunia membantah argumen tersebut. Deon Filmer (Bank Dunia) dan David L Lindauer (Wellesley College) dalam World Bank Working Paper No. 2226/2001 yang berjudul ‘Does Indonesia Have a Low Pay Civil Service’ menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan PNS 42% lebih tinggi dibanding swasta. Hingga pada tingkat SMA, pendapatan PNS masih lebih baik dibandingkan dengan pegawai swasta. Tetapi, pada tingkat pendidikan selanjutnya, gaji pegawai swasta sudah lebih tinggi. Misalnya, untuk lulusan perguruan tinggi, sektor swasta membayar 50% lebih tinggi. Tapi, harus diingat perbandingan ini menggunakan data Survei Angkatan Kerja (Sakernas) 1998 dari BPS. Survey belum memperhitungkan penyesuaian (kenaikan) gaji dan tunjangan PNS dan pejabat yang telah beberapa kali dilakukan pemerintah (mencapai dua kali lipat lebih).

Penyesuaian gaji tersebut akan memperbaiki rasio ini khususnya bagi PNS yang menduduki jabatan. Para pegawai yang menduduki jabatan eselon V sampai dengan eselon I dewasa ini mendapat tambahan tunjangan struktural mulai dari Rp225 ribu sampai dengan Rp4,5 juta(5). Untuk eselon I, menurut studi ADB lainnya take home pay ditambah fringe benefit seperti sopir dan mobil dinas (dan rumah dinas) dapat mencapai Rp 200-300 juta per tahun. Untuk pejabat tertentu, jumlah ini bertambah lagi mengingat posisinya sebagai komisaris di BUMN(6).

Data di atas menunjukkan bahwa kehidupan PNS relatif jauh lebih baik dibandingkan dengan kebanyakan rakyat yang bekerja di sektor swasta, informal bahkan mereka yang kurang beruntung tidak mendapat pekerjaan. Data di atas menunjukkan pula bahwa tanpa harus korupsi pun PNS sebenarnya tetap bisa hidup layak.

Korupsi pada PNS disebabkan oleh berbagai faktor seperti kurang layaknya sistem insentif yang berlaku dan luasnya cakupan otoritas yang diberikan rakyat kepada sektor publik. Kurang layaknya sistem insentif ini bukanlah terletak pada besarnya gaji melainkan sistem merit yang tidak bekerja benar termasuk dalam perekrutan, promosi hingga kepada struktur gaji. Walaupun besarnya gaji relatif memadai jika dilihat secara rata-rata, tetapi perbedaan yang terlalu kecil dari gaji pokok golongan tertinggi dengan terendah menyebabkan insentif untuk bekerja dengan baik dan jujur relatif kecil. Hal ini menyebabkan usaha untuk menduduki jabatan lebih tinggi dimotivasi oleh harapan memperoleh pendapatan sampingan sehingga upaya itu dilakukan dengan menabrak peraturan yang berlaku. Faktor lain adalah lemahnya punishment terhadap PNS yang melakukan kesalahan atau cost of wrong doing sangat rendah. Akibatnya, jika digunakan analis biaya dan manfaat dengan menggunakan game theory, kita akan menyaksikan solusi optimal dan rasional bagi seorang PNS adalah melakukan korupsi(7).

Extra Ordinary Action
Melihat besarnya kerusakan yang diakibatkan oleh korupsi, maka diperukan tindakan nyata untuk memberantas korupsi. Tentu saja bukan tindakan sekadarnya seperti hanya berwacana atau menghukum koruptor secara tebang pilih. Yang dibutuhkan adalah tindakan luar biasa (extra ordinary action) yaitu tindakan-tindakan yang canggih, inovatif dan penuh terobosan. Robert Kiltgard (2001) menilai, pemberantasan korupsi tidak akan berhasil bila hanya menggunakan pendekatan normatif. Harus ada terobosan progresif yang bagi kalangan normatif mungkin dianggap aneh(8).

Strategi Pemberantasan korupsi
Untuk mencegah dan memberantas korupsi, ada tiga strategi yang diklasifikasikan dalam:
1. Strategi preventif. Dengan meminimalkan penyebab dan peluang.
2. Strategi detektif. Membenahi banyak sistem yang berfungsi sebagai pemberi peringatan.
3. Strategi represif. Proses hukum yang cepat, tepat dan kepastian yang tinggi(9).

Pendidikan Antikorupsi
Salah satu langkah terpenting dalam strategi preventif untuk mencegah korupsi ialah melaksanakan pendidikan anti korupsi pada masyarakat, terutama pada anak-anak dan remaja, baik di dalam keluarga maupun di sekolah. Hal ini meliputi pendidikan budi pekerti dan pembangunan karakter. Intinya mendidik anak bangsa menjadi jujur terhadap diri sendiri, terhadap masyarakat, dan terhadap Tuhan. Anak-anak harus dididik untuk dapat menerima amanat, yaitu tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya dan menjalankan sesuatu yang menjadi tanggung jawabnya. Selain itu, ditanamkan penghargaan terhadap kerja, sedangkan materi atau uang bukanlah tujuan utama. Dengan itu diharapkan bisa dicegah kecenderungan untuk menempuh jalan pintas atau tujuan menghalalkan cara.

Akuntabilitas dan Transparansi
Strategi detektif dapat dilaksanakan dengan menerapkan akuntabilitas dan transparansi pada semua aktivitas pemerintahan. Korupsi terjadi karena adanya monopoli kekuasaan plus kebebasan bertindak tanpa adanya akuntabilitas (C = M + D – A)(10). Dengan akuntabilitas dan transparansi, aparat pemerintah (sukarela atau terpaksa) akan bekerja sesuai dengan standard yang ditetapkan. Masyarakat yang tidak berkenan atau tidak puas dengan hasil pekerjaan aparat pemerintah dapat langsung mengajukan protes/komplain sehingga dapat segera diketahui apa penyebab protes/komplain tersebut. Apakah karena kurang komunikasi, ketidaksengajaan atau ada faktor-faktor lain seperti korupsi. Dengan demikian akan tercipta suatu early warning system perilaku korupsi yang dapat mempercepat pengumpulan data atau bukti-bukti untuk ditindaklanjuti.

Tindakan Represif
Langkah-langkah dalam strategi preventif dan detektif tidak akan memberikan hasil seperti yang diharapkan bila tidak didukung langkah represif, yaitu sanksi hukum secara tegas terhadap pelaku tindak pidana korupsi tanpa pandang bulu. Salah satu poin penting yang harus diperhatikan dalam melaksanakan strategi anti korupsi ialah bahwa “Korupsi adalah kejahatan yang dilakukan dengan penuh perhitungan, bukan karena nafsu atau keinginan semata. Seseorang cenderung untuk melakukan korupsi bila resikonya kecil dan hukumannya ringan, sedangkan hasil yang didapatkan besar atau sangat besar(11). Beberapa gagasan tindakan represif untuk memberantas korupsi antara lain:

Pertama, pemberlakuan sistem pembuktian terbalik.
Dengan bukti hukum awal yang kuat, seseorang yang disangka melakukan korupsi diwajibkan membuktikan bahwa ia tidak melakukannya. Instrumen pembuktian terbalik membuat siapa pun sulit mengelak jika memang korup atau disuap.

Kedua, memperbaiki kualitas dan budaya hukum.

Antara lain memperbanyak hakim non karier sebagai hakim ad hoc, pendidikan bagi penegak hukum, ekspose dan monitoring perkara korupsi serta sangsi tegas dan lebih berat bagi para para penegak hukum yang nakal.

Ketiga, penerapan undang-undang perlindungan saksi.

Hal ini akan meningkatkan keberanian masyarakat untuk turut aktif dalam pemberantasan korupsi dan sekaligus mempersempit ruang gerak para koruptor dalam menjalankan aksinya.

Keempat, melakukan punishment yang berat terhadap praktek korupsi seperti yang dilakukan di Singapura atau Cina, di mana koruptor dapat dihukum mati.

Kesimpulan yang dapat diambil dalam tulisan ini ialah bahwa korupsi yang terjadi di negara kita merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) terhadap kemanusiaan terlepas dari apapun faktor yang menyebabkannya. Oleh karena itu diperlukan tindakan nyata yang luar biasa untuk menghentikan dan memberantasnya, yaitu tindakan yang canggih, inovatif dan penuh terobosan (extra ordinary action). Dengan demikian diharapkan korupsi dapat segera diberantas dalam satu generasi seperti yang terjadi di Singapura, Hongkong, dan Cina. Hal ini sesuai dengan optimisme yang dinyatakan Presiden SBY dalam sambutannya saat membuka konferensi International Criminal Police Organization (ICPO)-Interpol Regional Asia ke-19(12). Amin.



Referensi:
1,2 Koran Tempo, 12 Februari 2005.
3 Anticorruption in Transition A Contribution to the Policy Debate, hal. xxii, World Bank, Washington, D.C.
4 “About Corruption: Sebab-Sebab Terjadinya Korupsi ” WWW.transparansi.or.id
5 Peraturan Pemerintah No.3/2006 tanggal 11 Januari 2006.
6,7 “Gaji Rendah Penyebab Korupsi” oleh Mohamad Ikhsan, Staf Pengajar FEUI, Media Indonesia 2 Juli 2001
8 Koran Tempo, 2 Desember 2004
9 Dari artikel Media Transparansi Online “Memperkuat Lembaga Pemerintahan” www.transparansi.or.id
10,11 Robert Klitgaard - Ronald Maclean Abaroa - H. Lindsey Parris, Corrupt Cities A Practical Guide to Cure and Prevention hal.13, ICS Press, Institute for Contemporary Studies, Oakland, California.
12 Koran Tempo, 12 April 2006

Tidak ada komentar: