Jumat, 07 Maret 2008

Pemilihan Umum VS Pemilihan Elit







Jadi Anggota Legislatif Karena Pilihan Rakyat atau Karena Nomor Urut???
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) beberapa kali menemui jalan buntu karena ketidaksepahaman dan ketidaksepakatan terhadap beberapa klausul, yang seharusnya bila semuanya menggunakan akal sehat dan logika maka tidak akan terjadi perbedaaan pendapat. Salah satu klausul tersebut adalah “penentuan calon anggota legislatif (caleg) apakah dengan menggunakan nomor urut ataukah dengan suara terbanyak”.

Penentuan caleg dengan menggunakan nomor urut adalah masing-masing caleg dengan nomor urut teratas mempunyai kesempatan lebih besar untuk menjadi anggota legislatif bila kuota suara rakyat yang didapatkan tidak memenuhi syarat. Dampak yang ditimbulkan oleh mekanisme ini adalah:

1. Mereka yang mendapatkan nomor urut 1 mempunyai kesempatan lebih besar dari nomor urut 2, 3 dan seterusnya walaupun dalam pemilu hanya mendapatkan suara yang sedikit dibandingkan caleg lainnya yang berada pada nomor urut dibawahnya. Bahkan caleg nomor urut 1 tetap berpeluang besar menjadi anggota legislatif walaupun tidak mendapatkan satu suara pun.
2. Caleg dalam nomor urut besar (2, 3, 4 dan seterusnya) yang mendapatkan suara rakyat terbanyak namun tidak memenuhi syarat jumlah suara akan tersingkir oleh caleg dengan nomor urut 1 atau nomor urut jadi yang hanya dipilih oleh sedikit rakyat atau bahkan tidak dipilih sama sekali.

Penentuan caleg dengan suara terbanyak adalah bila tidak ada satupun caleg yang jumlah suaranya memenuhi syarat maka yang terpilih adalah mereka yang mendapatkan suara rakyat terbanyak meskipun berada pada nomor urut 4, 5 atau bahkan nomor urut ke-100. Dengan mekanisme ini, nomor urut bukanlah faktor penentu keberhasilan seorang caleg. Untuk menjadi anggota legislatif seorang caleg harus berusaha ekstra keras menarik simpati rakyat agar mau memilih dirinya. Disinilah faktor ketokohan, dekat dengan rakyat dan dipercaya rakyat menjadi faktor penentu keberhasilan.

Dari ilustrasi di atas sudah bisa ditebak mekanisme mana yang seharusnya cocok dan dipilih dalam penentuan anggota legislatif. Pemilihan umum sebagaimana namanya harusnya menjadi milik umum dan memberikan kemenangan bagi umum. Umum bila dikaitkan dengan jumlah selalu berkorelasi dengan banyak. Bila satu suara pemilih (A) dibandingkan dengan dua suara pemilih (B), maka yang memenuhi syarat untuk mewakili umum adalah B. Bila 30 suara pemilih (X) dibandingkan dengan 10 suara pemilih (Y), maka yang berhak mewakili umum adalah X. Bila 50 suara pemilih (C) dibandingkan dengan 49 suara pemilih (D), maka yang berhak mewakili umum adalah C. Demikian seterusnya. Hanya orang yang logikanya “tidak beres” yang berpendapat sebaliknya.

Jadi, seharusnya tidak perlu ada perdebatan dan perbedaan pendapat mengenai mekanisme mana yang dipilih dalam penentuan caleg, apakah dengan nomor urut atau suara terbanyak. Kembalikan saja semuanya pada hakikatnya yaitu Pemilihan “UMUM”.

Mengenai penentuan caleg ini, saya jadi ingat dua kejadian pada pemilu 2004 lalu, yaitu:
1. Adanya fakta bahwa untuk anggota DPR periode 2004-2009 yang benar-benar dianggap layak untuk menjadi anggota DPR adalah DR. Hidayat Nurwahid karena hanya dia mendapatkan suara yang terbanyak yaitu mencapai angka satu juta pemilih.

2. Adanya berita yang ditayangkan beberapa televisi pada pemilu 2004 lalu.
Berita tersebut tentang seorang wanita separuh baya yang sangat marah karena dirinya ditempatkan sebagai caleg nomor urut 3 oleh sebuah partai, padahal ia dijanjikan nomor urut jadi (no.1) setelah membayar Rp50juta kepada partai. Dalam tayangan televisi, wanita tersebut mendatangi kantor sebuah partai dengan membawa sebilah senjata tajam panjang (parang) kemudian mengacungkannya dan menebas apa saja yang berkaitan dengan partai tersebut. Dari pagar kantor hingga tiang bendera partai hingga umbul-umbul partai menjadi sasaran murkanya.

Mengapa wanita tersebut demikian murkanya??? Mungkin wanita tersebut putus asa karena yakin dirinya tidak akan terpilih menjadi anggota legislatif karena tidak diberikan nomor urut jadi seperti yang dijanjikan padanya dengan membayar Rp50juta. Wanita tersebut sadar bahwa uang yang telah dibayarkannya agar terpilih menjadi anggota legislatif yang akan bergelimang kemewahan, tidak akan kembali dan memberikan keuntungan berlipat ganda seperti yang terjadi pada orang lain atau seperti yang dijanjikan partainya.

“Mungkin rakyat kita memang mayoritasnya tidak berpendidikan dan masih bodoh. Tegakah kita memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi dan kelompok?

Tidak ada komentar: