Konsiderans UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa: “tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA, tetapi juga MERUPAKAN PELANGGARAN TERHADAP HAK-HAK SOSIAL DAN EKONOMI MASYARAKAT SECARA LUAS, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa”.
Hak2 sosial dan ekonomi merupakan bagian dari HAM DASAR, dan pelanggarannya merupakan kejahatan tingkat berat, begitu juga pelakunya merupakan penjahat kelas berat, jadi dapat juga dikatakan bahwa korupsi adalah kejahatan terhadap HAM dan Koruptor adalah pelanggar HAM tingkat berat.
Hak2 sosial dan ekonomi merupakan bagian dari HAM DASAR, dan pelanggarannya merupakan kejahatan tingkat berat, begitu juga pelakunya merupakan penjahat kelas berat, jadi dapat juga dikatakan bahwa korupsi adalah kejahatan terhadap HAM dan Koruptor adalah pelanggar HAM tingkat berat.
Apa yang sudah kita (kantor) lakukan sehubungan dengan korupsi/koruptor yang merupakan pelanggaran HAM berat??? Langkah2 apa yang sudah kita lakukan? Apakah langkah2 itu adalah tindakan yang biasa atau luar biasa atau tindakan yang tidak biasa? Apakah PERBAIKAN REMUNERASI termasuk tindakan biasa, luar biasa atau tidak biasa dalam pemberantasan korupsi??? :) Apakah yang bisa kita (kantor) lakukan???
Meskipun UU diatas menyatakan “pemberantasan korupsi harus dilakukan secara LUAR BIASA”, ternyata banyak hal-hal kecil yang biasa-biasa saja dan bisa kita (kantor) lakukan, tetapi “tidak biasa” dilakukan sebelumnya. Hal-hal biasa itu adalah melakukan aktivitas anti KKN dalam pengertian “in appearance” (dalam penampilan) dan “in fact” (dalam kenyataan/realitas).
Anti KKN dalam PENAMPILAN (in appearance)
Anti KKN dalam penampilan mirip dengan sosialisasi bahwa kita (kantor) bukan bagian dari koruptor. Hal ini bisa dilakukan dengan spanduk, stiker, pamflet bahwa kita (kantor) tidak menerima suap, sogokan, amplop, lampiran dan apapun namanya ataupun dalam bentuk apapun. Kalau kita (kantor) “mau”, dapat diedarkan sumbangan suka rela (infaq/sedekah?) untuk membuat suatu spanduk anti KKN, misal: “Anda Memasuki Kantor Bebas/Anti KKN!!!” atau/dan “KKN adalah Kejahatan Luar Biasa dan Pelanggaran HAM Berat” atau/dan “KKN Penyebab Busung Lapar dan Kelaparan Saudara-Saudara Kita”, atau/dan sebagainya. Atau dapat juga dengan membuat sejenis PIN yang bertuliskan "Saya Tidak Korupsi" yang disematkan di dada tiap pegawai. Dengan demikian masyarakat yang dilayani dapat merasa aman dan nyaman saat berurusan dengan kantor pelayanan publik.
TAPI INGAT!!! Dananya jangan mengambil dari DIPA bila tidak ada peruntukannya/tidak diperkenankan alokasinya. Dana bisa dari infaq/shadaqah dari pegawai yang concern, ataupun berdasarkan policy dari jajaran pimpinan kantor. Misal KPPN Percontohan, terdiri dari 40 pegawai, setiap pegawai menyumbang sekitar Rp10.000,- maka tersedia Rp400.000, cukup untuk membuat 2-3 spanduk yang dipampang di gerbang/pagar masuk, pintu masuk kantor dan tempat lainnya yang strategis. Saya yakin para pegawai KPPN Percontohan ataupun pegawai Depkeu secara umum tidak akan keberatan menyumbang Rp10.000,- ataupun lebih mengingat REMUNERASI nya yang relatif sangat memadai. Bila memungkinkan kita (kantor) dapat membuat stiker anti KKN yang dibagikan kepada klien/bendaharawan/rekanan atau tamu2 lain yang datang.
Dan atau bisa juga dengan membuatnya sendiri menggunakan komputer & printer kantor yang saya yakin tidak menyalahi aturan karena masih dalam kapasitas operasional kantor dalam rangka melaksanakan tugas sesuai dengan UU, yaitu bebas KKN. Kalau tidak bisa print warna, cukup hitam putih menggunakan font besar atau “Word Art” dengan “Line Font Hitam” tanpa “Fill Colour” dan dicetak dengan mode “Fast Draft” atau “Economode”. Setiap meja pegawai, pintu, kaca, dinding dan apapun yang memungkinkan dipasangkan poster/pamflet anti KKN buatan sendiri tersebut. Bahkan sekalian saja “Screen Saver” komputer kantor di set dengan tema anti KKN!!!
Anti KKN dalam REALITAS (in Fact)
Bila anti KKN dalam penampilan (in appearance) telah masif dilakukan, sedikit banyak membuat klien/bendaharawan/rekanan dan tamu2 lainnya akan merasa “aman” saat memasuki kantor dan bertemu kita. Hal ini juga menjadi atmosfer yang sedikit banyak akan mempengaruhi pegawai dan tamu2 yang “tidak waras” serta membuat lingkungan yang tidak kondusif bagi perilaku/pelaku KKN.
Tapi hal ini saja TIDAK CUKUP! Harus dibarengi dengan kontrol yang memadai, penerapan kode etik, dan reward & punishment yang tegas/jelas. Jangan lagi ada pegawai2 “istimewa/anak emas” yang melakukan “dosa” tapi dihukum ringan atau dihukum asal2an & akal2an. Misal Mr.X melakukan KKN di KPPN Percontohan A, tetapi hanya dihukum dengan mutasi ke seksi lain atau mutasi ke KPPN Percontohan B. Tidak ada sangsi kepegawaian sesuai ketentuan peraturan formal.
Bila hal-hal seperti ini tetap terjadi ataupun malah KKN dalam skala massal/mayoritas di kantor, maka spanduk/poster/pamflet yang merupakan upaya anti KKN dalam PENAMPILAN hanya akan menjadi LELUCON!!!.
Sebenarnya tidak sulit untuk memberantas or meminimalisir KKN, bahkan tidak perlu tindakan luar biasa (misal pasang kamera/penyadap). Hanya dengan tindakan yang biasa-biasa saja/tidak istimewa sudah cukup untuk menciptakan lingkungan bebas KKN. Yang diperlukan hanya KEMAUAN kita (dan kantor/pimpinan kantor).
Bila kantor dan atau jajaran pimpinan kantor belum concern dengan tindakan anti KKN yang murah dan biasa-biasa saja ini, MAUKAH kita? BERANIKAH kita? secara personal or “single fighter” melakukan anti KKN dalam PENAMPILAN pada properti di lingkungan sekitar kita sendiri seperti meja, kursi, komputer, motor, sepeda, dan lainnya? MAUKAH kita? BERANIKAH kita? untuk melakukan anti KKN dalam REALITA sehingga dengan tegas berkata “TIDAK” pada klien, rekan kantor, pimpinan atau siapapun berkenaan dengan KKN???
Ada yang mengatakan bahwa anti KKN tidak penting dengan kata2 yang penting adalah perbuatan. Ada benarnya, Tetapi dalam lingkungan yang KKN nya sudah sangat “JAHILIYAH”, bisa saja ini pernyataan ini merupakan sebuah “persiapan” bagi seseorang untuk “melarikan diri” ataupun untuk “pembenaran/rasionalisasi” bila suatu saat melakukan KKN. Misal: “Kan saya gak pernah janji anti KKN!” Yang jelas/pasti, bila sudah anti KKN dalam PENAMPILAN, maka kita sudah memberikan “sinyal” yang kuat dan dapat dilihat dari jauh bahwa “We allergic to KKN & never come to me”. Akhirnya bila anti KKN dalam PENAMPILAN (in appearance) tidak didukung oleh anti KKN dalam REALITA (in fact), berarti kita telah menjadikan diri sendiri sebagai LELUCON, dan ini hanya terjadi pada mereka yang sudah tidak mempunyai “RASA” lagi.
Meskipun UU diatas menyatakan “pemberantasan korupsi harus dilakukan secara LUAR BIASA”, ternyata banyak hal-hal kecil yang biasa-biasa saja dan bisa kita (kantor) lakukan, tetapi “tidak biasa” dilakukan sebelumnya. Hal-hal biasa itu adalah melakukan aktivitas anti KKN dalam pengertian “in appearance” (dalam penampilan) dan “in fact” (dalam kenyataan/realitas).
Anti KKN dalam PENAMPILAN (in appearance)
Anti KKN dalam penampilan mirip dengan sosialisasi bahwa kita (kantor) bukan bagian dari koruptor. Hal ini bisa dilakukan dengan spanduk, stiker, pamflet bahwa kita (kantor) tidak menerima suap, sogokan, amplop, lampiran dan apapun namanya ataupun dalam bentuk apapun. Kalau kita (kantor) “mau”, dapat diedarkan sumbangan suka rela (infaq/sedekah?) untuk membuat suatu spanduk anti KKN, misal: “Anda Memasuki Kantor Bebas/Anti KKN!!!” atau/dan “KKN adalah Kejahatan Luar Biasa dan Pelanggaran HAM Berat” atau/dan “KKN Penyebab Busung Lapar dan Kelaparan Saudara-Saudara Kita”, atau/dan sebagainya. Atau dapat juga dengan membuat sejenis PIN yang bertuliskan "Saya Tidak Korupsi" yang disematkan di dada tiap pegawai. Dengan demikian masyarakat yang dilayani dapat merasa aman dan nyaman saat berurusan dengan kantor pelayanan publik.
TAPI INGAT!!! Dananya jangan mengambil dari DIPA bila tidak ada peruntukannya/tidak diperkenankan alokasinya. Dana bisa dari infaq/shadaqah dari pegawai yang concern, ataupun berdasarkan policy dari jajaran pimpinan kantor. Misal KPPN Percontohan, terdiri dari 40 pegawai, setiap pegawai menyumbang sekitar Rp10.000,- maka tersedia Rp400.000, cukup untuk membuat 2-3 spanduk yang dipampang di gerbang/pagar masuk, pintu masuk kantor dan tempat lainnya yang strategis. Saya yakin para pegawai KPPN Percontohan ataupun pegawai Depkeu secara umum tidak akan keberatan menyumbang Rp10.000,- ataupun lebih mengingat REMUNERASI nya yang relatif sangat memadai. Bila memungkinkan kita (kantor) dapat membuat stiker anti KKN yang dibagikan kepada klien/bendaharawan/rekanan atau tamu2 lain yang datang.
Dan atau bisa juga dengan membuatnya sendiri menggunakan komputer & printer kantor yang saya yakin tidak menyalahi aturan karena masih dalam kapasitas operasional kantor dalam rangka melaksanakan tugas sesuai dengan UU, yaitu bebas KKN. Kalau tidak bisa print warna, cukup hitam putih menggunakan font besar atau “Word Art” dengan “Line Font Hitam” tanpa “Fill Colour” dan dicetak dengan mode “Fast Draft” atau “Economode”. Setiap meja pegawai, pintu, kaca, dinding dan apapun yang memungkinkan dipasangkan poster/pamflet anti KKN buatan sendiri tersebut. Bahkan sekalian saja “Screen Saver” komputer kantor di set dengan tema anti KKN!!!
Anti KKN dalam REALITAS (in Fact)
Bila anti KKN dalam penampilan (in appearance) telah masif dilakukan, sedikit banyak membuat klien/bendaharawan/rekanan dan tamu2 lainnya akan merasa “aman” saat memasuki kantor dan bertemu kita. Hal ini juga menjadi atmosfer yang sedikit banyak akan mempengaruhi pegawai dan tamu2 yang “tidak waras” serta membuat lingkungan yang tidak kondusif bagi perilaku/pelaku KKN.
Tapi hal ini saja TIDAK CUKUP! Harus dibarengi dengan kontrol yang memadai, penerapan kode etik, dan reward & punishment yang tegas/jelas. Jangan lagi ada pegawai2 “istimewa/anak emas” yang melakukan “dosa” tapi dihukum ringan atau dihukum asal2an & akal2an. Misal Mr.X melakukan KKN di KPPN Percontohan A, tetapi hanya dihukum dengan mutasi ke seksi lain atau mutasi ke KPPN Percontohan B. Tidak ada sangsi kepegawaian sesuai ketentuan peraturan formal.
Bila hal-hal seperti ini tetap terjadi ataupun malah KKN dalam skala massal/mayoritas di kantor, maka spanduk/poster/pamflet yang merupakan upaya anti KKN dalam PENAMPILAN hanya akan menjadi LELUCON!!!.
Sebenarnya tidak sulit untuk memberantas or meminimalisir KKN, bahkan tidak perlu tindakan luar biasa (misal pasang kamera/penyadap). Hanya dengan tindakan yang biasa-biasa saja/tidak istimewa sudah cukup untuk menciptakan lingkungan bebas KKN. Yang diperlukan hanya KEMAUAN kita (dan kantor/pimpinan kantor).
Bila kantor dan atau jajaran pimpinan kantor belum concern dengan tindakan anti KKN yang murah dan biasa-biasa saja ini, MAUKAH kita? BERANIKAH kita? secara personal or “single fighter” melakukan anti KKN dalam PENAMPILAN pada properti di lingkungan sekitar kita sendiri seperti meja, kursi, komputer, motor, sepeda, dan lainnya? MAUKAH kita? BERANIKAH kita? untuk melakukan anti KKN dalam REALITA sehingga dengan tegas berkata “TIDAK” pada klien, rekan kantor, pimpinan atau siapapun berkenaan dengan KKN???
Ada yang mengatakan bahwa anti KKN tidak penting dengan kata2 yang penting adalah perbuatan. Ada benarnya, Tetapi dalam lingkungan yang KKN nya sudah sangat “JAHILIYAH”, bisa saja ini pernyataan ini merupakan sebuah “persiapan” bagi seseorang untuk “melarikan diri” ataupun untuk “pembenaran/rasionalisasi” bila suatu saat melakukan KKN. Misal: “Kan saya gak pernah janji anti KKN!” Yang jelas/pasti, bila sudah anti KKN dalam PENAMPILAN, maka kita sudah memberikan “sinyal” yang kuat dan dapat dilihat dari jauh bahwa “We allergic to KKN & never come to me”. Akhirnya bila anti KKN dalam PENAMPILAN (in appearance) tidak didukung oleh anti KKN dalam REALITA (in fact), berarti kita telah menjadikan diri sendiri sebagai LELUCON, dan ini hanya terjadi pada mereka yang sudah tidak mempunyai “RASA” lagi.