Jumat, 07 Maret 2008

Komersialisasi Model Indonesia




Di mana-mana orang membutuhkan uang. Tetapi haruskah uang mengorbankan segala-galanya? Idealisme, Kemanusiaan, Tolong-Menolong, Sportifitas dan nilai-nilai positif lainnya seringkali dikalahkan oleh kebutuhan akan uang. Pada tahap awalnya mungkin hanya dilakukan karena kebutuhan akan uang untuk menutupi kebutuhan dasar, tetapi lama-kelamaan akan menjadi pemicu materialisme, sehingga memunculkan keserakahan, ingin untung sebesar-besarnya bahkan berujung pada tindakan amoral dan kriminal seperti korupsi, penipuan dan lain sebagainya.

Istri saya pernah sangat terkaget-kaget dengan perilaku materialisme pada orang yang baru dikenalnya yang dikira hendak menolong. Saat itu Istri saya sedang mencari rumah kontrakan. Setelah berkeliling seharian tidak kunjung menemukan rumah yang cocok. Ada yang kosong, namun lokasi dan fasilitasnya tidak mendukung untuk kehidupan saya, istri dan anak. Dalam perjalanannya, istri saya melihat sekelompok wanita-wanita yang sedang mengobrol di depan rumah mereka. Istri saya pun menyapa mereka dan bertanya apakah mengetahui ada rumah kontrakan disekitar lingkungan mereka. Seorang wanita memberitahu ada rumah kontrakan yang ia ketahui dan menawarkan diri untuk mengantar. Istri saya pun dengan senang hati menerimanya. Akhirnya karena sudah harus pindah dan tidak ada pilihan lain, istri saya pun memilih mengontrak rumah tersebut.

Kami pun pindah rumah kurang lebih jam 4 sore. Saya dan istri beres-beres membersihkan rumah hingga memasang kawat nyamuk, tak terasa waktu sudah melewati magrib. Kamipun beristirahat sementara untuk sholat dan makan malam. Ditengah kelelahan, istri saya menyiapkan makan malam dan saya membersihkan diri agar lebih segar untuk melanjutkan pengaturan rumah setelah makan malam.

Disaat kami bersantap malam, ada suara ketukan di pintu rumah kami. Kami pun bertanya-tanya siapa yang datang, karena kami belum berkenalan dengan tetangga sekitar. Apalagi kami sedang tidak mengharapkan kedatangan tamu karena rumah masih berantakan dan kondisi tubuh yang kelelahan. Dengan rasa malas dan sedikit bingung istri saya membuka pintu. Tak lama kemudian istri menemui saya dengan wajah kesal, saya pun bertanya siapa yang datang. Istri memberitahu bahwa yang datang adalah wanita yang pernah mengantarnya ke rumah kontrakan kami dan beliau datang meminta “komisi” atas jasanya mengantar istri saya mendapatkan rumah kontrakan. Wanita tersebut menyebutnya dengan istilah “minta uang jajan”.

Istri saya nampak kesal dan marah. Ia tidak menyangka ternyata pertolongan yang diterimanya karena ada pamrih untuk mendapatkan uang. Padahal sebelumnya tidak ada sedikitpun perbincangan bahwa wanita tersebut bersedia mengantarkan asal diberi uang. Apalagi kami baru beberapa jam menempati rumah dan sedang kelelahan membersihkan rumah. Istri saya pun memberikan uang sekadarnya kepada wanita tersebut, dan walaupun wajah wanita tersebut menunjukkan tidak puas, akhirnya ia pun pergi. Dari informasi pemilik rumahpun diketahui bahwa wanita tersebut juga meminta komisi atas jasanya mengantarkan pelanggan. Hal semacam ini sudah beberapa kali terjadi saat kami hendak pindah rumah.

Mungkin karena kesal dengan pengalaman tersebut, istri saya jadi sangat berhati-hati apabila hendak meminta tolong pada orang yang tidak dikenal ataupun jika ada orang yang akan “menolong”, walaupun hanya sekedar menanyakan jalan atau alamat suatu tempat. Istri saya selalu memastikan apakah ada uang yang harus dikeluarkan dan berapa jumlah pastinya agar nanti tidak menimbulkan kesalahpahaman. Istri saya pernah bertanya kepada saya, “Apa tidak ada lagi orang yang baik/iklas di dunia ini???” Ia kesal bukan karena harus mengeluarkan uang untuk membayar honor mereka yang menolong yang ternyata calo, tetapi kesal karena hal tersebut tidak dijelaskan di awal dan dipastikan berapa tarif yang harus dibayar, sehingga membingungkan dan bisa terjadi salah paham. Apalagi para “penolong” tersebut akan bermuka masam dan tidak senang bila tidak berkenan dengan jumlah uang yang diberikan. Kalau sebelumnya diberitahukan bahwa “pertolongan” tersebut harus dibayar dan ditetapkan berapa jumlahnya, tentu istri saya bisa memutuskan apakah akan “memakai” pertolongan tersebut ataukah tidak, juga bisa menawar bila harga yang ditetapkan kemahalan. Istri saya merasa ditipu dan dibodohi oleh mereka yang menawarkan pertolongan, harga dirinya merasa direndahkan.

Fenomena yang dialami istri saya ternyata adalah gambaran dari kehidupan masyarakat kita sekarang ini. Segala sesuatu lebih bermakna jika dinilai dengan uang. Prinsip yang dipegang teguh sekarang ini adalah “iklas tidak membuat kenyang, tidak membuat kaya dan tidak membuat senang”. Nyaris segala sektor harus berhubungan dengan sifat materialisme dan komersialisme yang mendewa. Maka tidak heran jika Indonesia terkenal menjadi salah satu negara terkorup di dunia, selain sebagai ladang komersialisasi dan kapitalisme yang subur.

Salah satu contoh nyata komersialisasi dan kapitalisme untuk mendapatkan uang dan untung sebanyak-banyaknya adalah menjamurnya acara reality show pencarian bakat di Indonesia. Ambil contoh “American Idol”. Di negara asalnya, acara ini adalah untuk mencari bintang baru penyanyi berbakat yang disenangi mayoritas publik. Setidaknya menjadi mayoritas dari poling lewat telepon dan sms yang masuk. Walaupun memang acara ini erat kaitannya dengan materialisme, komersialisasi dan kapitalisme, namun prinsip-prinsip persaingan sehat dan kompetisi tetap diutamakan.

“American Idol” berhubungan erat dengan materialisme, komersialisasi dan kapitalisme bisa dilihat dari motivasi peserta yang berpartisipasi yaitu harta dan ketenaran. Acara ini juga diadakan sekaligus untuk menciptakan konsumen baru yang bisa langsung “tune in” dengan bintang baru, sehingga kemungkinan besar bintang yang menang dari hasil polling nantinya akan mudah mendapatkan pangsa pasarnya saat mengeluarkan album ataupun mengadakan tour pertunjukan. Walaupun demikian, prinsip persaingan dan kompetisi sehat pun juga tidak dilupakan. Setiap orang: remaja atau dewasa (tentu saja ada batasan umur), cantik atau jelek, hitam atau putih, dari ras manapun, semuanya mempunyai kemungkinan untuk menang dan menjadi bintang bila hasil pollingnya unggul. Hasil pollling ini dilakukan gratis dengan jaringan komunikasi dari sponsor dan dengan tarif normal baik sms ataupun telpon bagi yang menggunakan jaringan komunikasi lainnya. Sistem yang diberlakukan pun “one number one vote”. Jadi setiap orang yang suka dapat memilih idolanya tanpa dibebani biaya mahal ataupun diiming-imingi hadiah undian. Hal ini secara relatif akan menimbulkan persaingan sehat diantara para kandidat untuk merebut simpati publik dengan kemampuan yang mereka miliki, sehingga yang terpilih adalah benar-benar bintang pilihan publik yang mempunyai kans besar untuk sukses albumnya dipasaran.

Sayangnya acara ini semacam ini begitu diadopsi di Indonesia mengalami “dekadensi moral” dan penurunan kualitas. Materialisme, komersialisasi dan kapitalisme semakin menggila dan membunuh kompetisi dan persaingan sehat. Polling yang dilakukan dikenakan biaya premium mencapai puluhan kali lipat dari biaya standar. Setiap orang pun bisa mengirimkan sms sebanyak-banyaknya dari satu nomor telepon. Apalagi ada iming-iming hadiah undian mobil, motor dan sebagainya, sehingga yang mengirim sebanyak-banyaknya mendapatkan peluang yang lebih besar untuk menang.

Hakekat untuk memilih bintang sudah ternodai oleh praktek perjudian. Persaingan sehatpun menjadi hilang karena setiap kandidat bisa bekerja keras diluar panggung yang tentu saja lewat tim yang biasanya merupakan orang tua dan keluarga dekat dengan mengeluarkan modal puluhan hingga ratusan juta rupiah untuk membeli pulsa demi mendukung anggota keluarga mereka menjadi bintang baru. Bisa juga dengan memanfaatkan kedekatan daerah, suku bahkan jabatan publik agar mendapatkan dukungan sms sebanyak-banyaknya. Bahkan tersiar berita seorang pejabat menginstruksikan pada semua pegawainya dan keluarga serta rakyat di daerahnya untuk mengirimkan sms guna mendukung kandidat yang berasal dari daerahnya. Sang Pejabat pun merasa bangga dan tidak malu-malu lagi hadir dalam acara pemilihan bintang atau idola yang di siarkan langsung televisi, seolah-olah sudah tidak ada lagi yang lebih penting dikerjakan berkaitan dengan kepentingan publik.

Hasil akhir dari pemilihan idola dan bintang di Indonesia seperti ini akhirnya menghasilkah idola dan bintang sesaaat. Bukan bintang dan idola yang saat mengeluarkan album akan laku. Selanjutnya kebintangan mereka pun tenggelam tidak tentu lagi rimbanya. Setahu saya tidak ada album dari sang pemenang polling reality show tersebut yang meledak dipasaran. Hal ini tidak mengherankan mengingat mereka menjadi juara karena faktor keterpaksaan bukan karena kesukaan publik. Koran pernah memuat berita bahwa keluarga seorang pemenang reality show menyanyi mengeluarkan ratusan juta rupiah untuk membeli dan membagi-bagikan pulsa. Sudah jelas terlihat bahwa acara semacam ini di Indonesia hanya dijadikan ajang kaum kapitalisme menangguk untuk besar dengan cepat, tanpa peduli dengan kualitas yang dimunculkan.

Hal serupa ini juga dapat ditemui dalam segala aspek kehidupan di Indonesia. Uang adalah panglima. Siapa yang memiliki uang maka dialah pemenangnya. Coba lihat kasus-kasus hukum yang seringkali dimenangkan hanya oleh mereka yang memiliki uang. Para pelanggar ruang publik/hijau berupa pedagang kaki lima, gelandangan, orang miskin tak ragu-ragu digusur padahal tak jauh dari tempat tersebut terdapat pom bensin dan mal-mal yang mencuri ruang publik/hijau namun tidak tersentuh penertiban. Partai-partaipun tidak mau kalah, yang berhak menjadi pejabat adalah siapa yang memberi uang terbanyak bagi partai maka pasti akan ada di nomor urut jadi.

Sudah sedemikian parahkah bangsa kita yang konon dulunya terkenal santun dan taat beragama??? Atau jangan-jangan ini baru tahap awal dari kerusakan yang lebih parah yang akan kita tuju?????

(Jumat, 070308)

Pemilihan Umum VS Pemilihan Elit







Jadi Anggota Legislatif Karena Pilihan Rakyat atau Karena Nomor Urut???
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) beberapa kali menemui jalan buntu karena ketidaksepahaman dan ketidaksepakatan terhadap beberapa klausul, yang seharusnya bila semuanya menggunakan akal sehat dan logika maka tidak akan terjadi perbedaaan pendapat. Salah satu klausul tersebut adalah “penentuan calon anggota legislatif (caleg) apakah dengan menggunakan nomor urut ataukah dengan suara terbanyak”.

Penentuan caleg dengan menggunakan nomor urut adalah masing-masing caleg dengan nomor urut teratas mempunyai kesempatan lebih besar untuk menjadi anggota legislatif bila kuota suara rakyat yang didapatkan tidak memenuhi syarat. Dampak yang ditimbulkan oleh mekanisme ini adalah:

1. Mereka yang mendapatkan nomor urut 1 mempunyai kesempatan lebih besar dari nomor urut 2, 3 dan seterusnya walaupun dalam pemilu hanya mendapatkan suara yang sedikit dibandingkan caleg lainnya yang berada pada nomor urut dibawahnya. Bahkan caleg nomor urut 1 tetap berpeluang besar menjadi anggota legislatif walaupun tidak mendapatkan satu suara pun.
2. Caleg dalam nomor urut besar (2, 3, 4 dan seterusnya) yang mendapatkan suara rakyat terbanyak namun tidak memenuhi syarat jumlah suara akan tersingkir oleh caleg dengan nomor urut 1 atau nomor urut jadi yang hanya dipilih oleh sedikit rakyat atau bahkan tidak dipilih sama sekali.

Penentuan caleg dengan suara terbanyak adalah bila tidak ada satupun caleg yang jumlah suaranya memenuhi syarat maka yang terpilih adalah mereka yang mendapatkan suara rakyat terbanyak meskipun berada pada nomor urut 4, 5 atau bahkan nomor urut ke-100. Dengan mekanisme ini, nomor urut bukanlah faktor penentu keberhasilan seorang caleg. Untuk menjadi anggota legislatif seorang caleg harus berusaha ekstra keras menarik simpati rakyat agar mau memilih dirinya. Disinilah faktor ketokohan, dekat dengan rakyat dan dipercaya rakyat menjadi faktor penentu keberhasilan.

Dari ilustrasi di atas sudah bisa ditebak mekanisme mana yang seharusnya cocok dan dipilih dalam penentuan anggota legislatif. Pemilihan umum sebagaimana namanya harusnya menjadi milik umum dan memberikan kemenangan bagi umum. Umum bila dikaitkan dengan jumlah selalu berkorelasi dengan banyak. Bila satu suara pemilih (A) dibandingkan dengan dua suara pemilih (B), maka yang memenuhi syarat untuk mewakili umum adalah B. Bila 30 suara pemilih (X) dibandingkan dengan 10 suara pemilih (Y), maka yang berhak mewakili umum adalah X. Bila 50 suara pemilih (C) dibandingkan dengan 49 suara pemilih (D), maka yang berhak mewakili umum adalah C. Demikian seterusnya. Hanya orang yang logikanya “tidak beres” yang berpendapat sebaliknya.

Jadi, seharusnya tidak perlu ada perdebatan dan perbedaan pendapat mengenai mekanisme mana yang dipilih dalam penentuan caleg, apakah dengan nomor urut atau suara terbanyak. Kembalikan saja semuanya pada hakikatnya yaitu Pemilihan “UMUM”.

Mengenai penentuan caleg ini, saya jadi ingat dua kejadian pada pemilu 2004 lalu, yaitu:
1. Adanya fakta bahwa untuk anggota DPR periode 2004-2009 yang benar-benar dianggap layak untuk menjadi anggota DPR adalah DR. Hidayat Nurwahid karena hanya dia mendapatkan suara yang terbanyak yaitu mencapai angka satu juta pemilih.

2. Adanya berita yang ditayangkan beberapa televisi pada pemilu 2004 lalu.
Berita tersebut tentang seorang wanita separuh baya yang sangat marah karena dirinya ditempatkan sebagai caleg nomor urut 3 oleh sebuah partai, padahal ia dijanjikan nomor urut jadi (no.1) setelah membayar Rp50juta kepada partai. Dalam tayangan televisi, wanita tersebut mendatangi kantor sebuah partai dengan membawa sebilah senjata tajam panjang (parang) kemudian mengacungkannya dan menebas apa saja yang berkaitan dengan partai tersebut. Dari pagar kantor hingga tiang bendera partai hingga umbul-umbul partai menjadi sasaran murkanya.

Mengapa wanita tersebut demikian murkanya??? Mungkin wanita tersebut putus asa karena yakin dirinya tidak akan terpilih menjadi anggota legislatif karena tidak diberikan nomor urut jadi seperti yang dijanjikan padanya dengan membayar Rp50juta. Wanita tersebut sadar bahwa uang yang telah dibayarkannya agar terpilih menjadi anggota legislatif yang akan bergelimang kemewahan, tidak akan kembali dan memberikan keuntungan berlipat ganda seperti yang terjadi pada orang lain atau seperti yang dijanjikan partainya.

“Mungkin rakyat kita memang mayoritasnya tidak berpendidikan dan masih bodoh. Tegakah kita memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi dan kelompok?

Gerakan Memilih “Orang Baik” Dalam Pemilu


Pemilihan Umum 2009 tinggal satu tahun lagi. Bila kita tidak ingin memilih para wakil rakyat yang tukang bohong, koruptor, pemain film porno, penikmat hedonis dan kemewahan, tidak peka pada penderitaan rakyat - dan sebagainya yang bila semuanya ditulis berdasarkan pengalaman yang terjadi selama ini, maka daftar keburukannya akan saaangat panjang – maka mungkin kini sudah saatnya membuka semua panca indera kita termasuk indera keenam dan ketujuh agar dapat mengetahui mana “orang baik” dan mana orang buruk yang akan menjadi wakil rakyat.


Mengingat banyak partai yang tidak bisa menyaring secara ketat para caleg atau kader yang disodorkan pada rakyat agar dapat meloloskan wakil rakyat yang berkualitas, maka yang menjadi penentu adalah diri kita sendiri. Apalagi Pemilu adalah sistem yang menentukan masa depan kita maka mau tidak mau kita harus berpartisipasi. Golput adalah pilihan yang menggiurkan, namun mungkin lebih baik bila kita diatur oleh orang yang kita pilih sendiri dibandingkan kita diatur oleh orang yang tidak kita pilih. Dengan demikian bila kita kecewa maka kita punya hak untuk marah dan murka dengan menghukum mereka yang tidak amanah dengan mencabut amanah tersebut dalam pemilu. Mungkin hukuman ini tidak “seberapa” namun selama kita masih percaya adanya hari akhirat, maka kita dapat menuntut hukuman yang lebih berat bagi para wakil rakyat tersebut di hadapan Tuhan kelak.


Dalam pemilu nanti mari kita pilih orang-orang baik bukannya para bromocorah tak perduli apapun partainya. Bila nanti orang-orang baik yang pantas dipilih memang hanya sedikit, maka biarkanlah terjadi apa adanya. Lebih baik punya wakil rakyat yang sedikit tapi baik daripada 500 orang yang mayoritasnya buruk sehingga hasilnya pun akan buruk.


Bayangkan nanti saat pemilu, semisal orang2 baik dari sekian ribu daftar yang disodorkan partai-partai hanya berjumlah 10 orang, maka marilah kita pilih ke-10 orang tersebut dan kita acuhkan ribuan orang lainnya. Hal ini mungkin akan memberikan efek yang sangat besar bagi bangsa ini. Bayangkan bila ada 100 juta orang pemilih dan semuanya hanya memilih 10 orang baik tersebut, maka bila dibagi rata, satu orang baik akan mempunyai suara sebanyak 10 juta pemilih dan caleg lainnya hanya mendapatkan 0 suara. Ini akan memberikan pelajaran rasa malu dan tahu diri bagi para wakil rakyat yang dinilai rakyat kurang baik. Dan juga memberi pelajaran bagi partai agar hanya memilih orang-orang baik bukannya orang-orang buruk yang karena berduit atau memiliki pengaruh dan kekuasaan maka bisa mendapatkan apa saja yang mereka mau.


Jadi ingat!!! Apapun partainya, pilihlah orang-orang baik yang ada didaftar caleg walaupun jumlahnya sangat sedikit. Masa depan kita akan lebih baik bersama orang-orang baik. Saatnya kita benar-benar memilih!!!