Senin, 17 Desember 2007

MENGHINDARI PERANGKAP KORUPSI

Seringkali kita mendengar dalam beberapa kasus korupsi banyak orang merasa tidak tahu menahu kalau dirinya telah melakukan tindakan korupsi. Sang Pejabat berkelit bahwa ia tidak tahu persis tehnis pengelolaan dan hanya mempercayakannya pada bawahan dan sebaliknya sang bawahan berkilah bahwa ia hanya melaksanakan perintah atasan.
Untuk menghindari terjadinya lempar batu sembunyi tangan dan mempertegas komitmen anti korupsi dalam organisasi, maka mungkin cara berikut ini bisa dilakukan oleh anggota organisasi baik pejabat maupun bawahannya.

1. Pembuatan Akta Anti Korupsi oleh Pejabat/Pimpinan
Mereka yang mendapatkan amanah untuk menjadi pemimpin ataupun pejabat dalam suatu organisasi harus membuat “Akta Anti Korupsi”. Akta ini untuk internal organisasi dan ditembuskan kepada organisasi struktural di atasnya. Akta ini berupa pernyataan yang menegaskan bahwa pejabat yang bersangkutan tidak akan melakukan korupsi dan para bawahannya baik manajemen menengah, supervisor, ataupun pelaksana juga akan mendukung gerakan anti korupsi dengan memberikan informasi dan bantuan yang seluas-luasnya agar keputusan yang diambil oleh sang pejabat dan kegiatan dalam organisasi tidak berbau korupsi. Juga perlu dituliskan saluran untuk melaporkan indikasi terjadinya korupsi untuk diambil tindakan berikutnya baik preventiv maupun korektif.

Bila kemudian terjadi kasus korupsi maka semua pihak yang berhubungan langsung dengan area terjadinya korupsi harus bertanggungjawab sesuai porsinya masing-masing secara struktural dan jabatan kemudian mendapatkan hukuman berdasarkan tingkat kesalahannya masing-masing. Misal: Terjadi kasus mark up dalam pengadaan barang/jasa, yang harus bertanggungjawab adalah panitia pengadaan.

Akta ini ditandatangani oleh semua level manajemen (Kepala Kantor, Kepala Seksi, Ketua Panitia) dan beberapa saksi dari perwakilan pegawai/bawahan serta harus diketahui oleh semua anggota organisasi. Bila perlu semua anggota organisasi juga menandatangani akta tersebut dalam suatu lampiran sebagai bukti dukungan dan telah mengetahui.

Dengan demikian diharapkan tumbuh kesadaran anti korupsi di setiap anggota organisasi karena komitmen yang tinggi dari Kepala Kantor dan semua level manajemen. Semua menjadi sadar bahwa jika terjadi kasus maka yang saling terkait adalah yang paling bertanggungjawab. Dengan demikian jika ada oknum-oknum yang hendak melakukan korupsi, maka pihak yang saling terkait minimal tidak akan ikut-ikutan dan memberikan warning.

2. Pembuatan surat pernyataan tidak bertanggung jawab oleh bawahan
Kadangkala Akta yang telah dibuat hanya merupakan teori belaka atau hanya sekadar kamuflase dari atasan. Seringkali atasan bersikeras untuk melakukan tindakan yang tidak etis dalam suatu pekerjaan dan melibatkan bawahannya sebagai eksekutor dan penandatangan. Misal: atasan memerintahkan untuk meloloskan pembayaran yang tidak benar dan tidak syah dari pihak-pihak tertentu. Untuk menghadapi hal seperti ini, para pendukung anti korupsi baik pada level bawahan ataupun manajemen dapat menggunakan “surat pernyataan tidak bertanggung jawab” yang ditandatangani oleh bawahan dan atasan yang bersangkutan.

Surat pernyataan ini berisi tentang ketidaksetujuan dan alasannya terhadap tindakan-tindakan tidak etis tersebut, namun karena posisinya sebagai bawahan yang harus melaksanakan perintah atasan maka hal tersebut harus dilakukan. Surat ini menyatakan yang bersangkutan tidak bertanggung jawab bila terjadi tuntutan hukum akibat tindakan tersebut.

Hal ini pernah dilakukan oleh seorang teman saya sebut saja Mr.X. Mr.X saat itu bertugas memeriksa tagihan pada negara oleh suatu proyek. Karena tagihan tersebut tidak sesuai dengan aturan yang ada, Mr.X menolak tagihan tersebut. Atasan Mr.X (Kepala Kantor & Kepala Seksi) bersikeras agar tagihan tersebut diloloskan. Akhirnya Mr.X membuat surat pernyataan seperti di atas, lalu memproses tagihan tersebut atas perintah atasan.

Selang beberapa waktu, diadakan pemeriksaan terhadap proyek tersebut dan ditemukan pembayaran yang tidak diperkenankan yang diproses oleh Mr.X. Pembayaran tersebut kemudian diselidiki dan mengarah pada kantor Mr.X. Setelah pemeriksaan dilakukan, semua pihak yang berkaitan dengan lolosnya pembayaran tersebut mendapatkan hukuman kecuali Mr.X yang lolos karena memiliki surat pernyataan tersebut.

Bagaimanapun juga kedua cara di atas memerlukan komitmen yang tinggi bagi semua pihak dalam upaya pemberantasan korupsi khususnya upaya preventif. Terlebih lagi pada cara yang kedua, dibutuhkan keberanian ekstra untuk berbeda pendapat dengan atasan (dengan alasan yang benar) yang sayangnya belum menjadi budaya bagi PNS di negeri ini yang sangat kental beraroma feodalisme dan paternalistik. Loyalitas diterapkan secara salah kaprah dengan berkiblat pada kepentingan perseorangan (atasan atau pejabat), bukan pada kepentingan organisasi dan masyarakat yang mempekerjakan dan menggaji PNS.

“MEMANFAATKAN” NARAPIDANA

Beberapa hari terakhir ini beberapa media memberitakan tentang perkuliahan yang diadakan dalam penjara yang diikuti oleh para narapidana. Nama-nama narapidana yang diberitakan ikut perkuliahan tersebut cukup familiar dan terkenal karena kasusnya pernah diekspos di media massa seperti kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang.

Mungkin ini adalah bentuk nyata dari perguruan tinggi yang mengejar laba yang tinggi namun berlindung dibalik slogan “pemberdayaan narapidana”. Banyak pertanyaan yang harus dijawab dari fenomena ini. Diantaranya adalah siapa saja yang bisa mengikuti perkuliahan tersebut? Apakah hanya narapidana yang spesial dan istimewa? Narapidana dari kasus-kasus yang melibatkan pergerakan dana yang cukup besar seperti korupsi dan narkoba atau narapidana dari kalangan yang berada ataukah semua narapidana bisa mengakses pendidikan tersebut.

Selain itu pertanyaan lainnya adalah berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh para narapidana, jurusan apakah yang akan dibuka, apakah jurusan tersebut berdasarkan permintaan para narapidana (prinsip supply & demand) ataukah dari hasil kajian ilmiah yang menyatakan jurusan tersebut diperlukan oleh para narapidana? Belum lagi dari permasalahan fasilitas negara yang dipakai untuk perkuliahan tersebut, dan banyak permasalahan lainnya yang harus dijelaskan kepada publik dengan transparan.

Program ini dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu dan oknum-oknum tertentu untuk mendapatkan keuntungan pribadi/kelompok. Di negara kita yang proses penegakan hukumnya masih sangat lemah di mana hukum menjadi panglima masih banyak hanya sebatas slogan, kemungkinan-kemungkinan buruk sangat mungkin terjadi.

Para narapidana memang tidak boleh didiskriminasi tapi juga tidak pantas diistimewakan. Apalagi bila pada kenyataannya memang di antara lingkungan para narapidana sendiri pun masih sering terjadi diskrimasi dan pengistimewaan untuk kalangan tertentu. Dan perlu diingat adalah LP selain tempat memasyarakatkan, juga tetap berfungsi sebagai tempat hukuman untuk membuat efek jera. Bila dalam LP juga bisa diperoleh dengan mudah kenikmatan dan keistimewaan di luar LP, lalu untuk apa ada LP???

Sebaiknya pembinaan narapidana dilakukan secara non formal dan berbasis pada kegiatan memasyarakatkan dan memperbaiki moral dan mental. Masih banyak hal yang lebih darurat dan yang sangat penting dilakukan untuk memperbaiki kehidupan di seputar lembaga pemasyarakatan. Perbaikan fasilitas seperti kapasitas, pelayanan kesehatan, MCK, penegakan hukum agar narkoba, aids dan penyakit lainnya tidak tumbuh subur dan lain sebagainya adalah prioritas dibanding membuka kelas eksekutif strata satu di penjara.

Kalau hal seperti ini terjadi, bisa saja banyak penjara di Indonesia akan menjadi cabang bagi banyak perguruan tinggi lainnya yang membuka program sejenis karena melihat peluang bisnis dari memanfaatkan pundi-pundi uang para narapidana tertentu. Kalau memang hal seperti ini tidak bisa dicegah, sebaiknya Depdiknas mengeluarkan peraturan bahwa dalam ijazah & transkrip program tersebut harus mencantumkan kalimat “Kelas Eksekutif Lembaga Pemasyarakatan XXX” setidaknya untuk memberikan apresiasi bagi mereka yang bersusah payah tidak melanggar hukum dan menyelesaikan kuliah di luar LP.

Kamis, 13 Desember 2007

OPTIMALIZATION OF GOVERNMENT POLICIES TO ERADICATE THE POVERTY

Sum up the impecunious resident (under Poverty Line) in Indonesia at March 2006 equal to 39,05 million (17,75%). Compared to February 2005 equal to 35,10 million (15,97%), meaning impecunious resident amount increase to 3,95 million. Impecunious Resident percentage between area of urban and countryside not many changing. March 2006, most (63,41%) impecunious resident live in the countryside area. (Statistical Formal News No.47/IX/1 September 2006: Poverty Storey; Level in Indonesia Year 2005-2006. www.BPS.go.id).

Poverty have made millions of children cannot get quality education, difficulty defray the health, lack of saving and investments inexistence, lack of accessing to public service, lack of work field, lack of social security and protection to family, strength of it urbanization current to town, and more hard, poverty cause millions of people fulfill the food requirement, gird and board finitely. Poverty cause the countryside society ready to sacrifice any kind of for the shake of safety live, allowing the release of physical energy to produce the advantage for local wholesaler and accept the mismatch fee with the energy expense.

Poverty causes the lower the Human Development Index (HDI). By totally quality of human being of Indonesia relative still be very low, compared to other nations in world. Pursuant To Human Development Report 2004 using year data 2002, number of Indonesian Human Development Index (HDI) is 0,692. The index number represent composite the number of life moment born equal to 66,6 year, number of ability to read of age 15 year up equal to 87,9%, harsh participation number combination of elementary education ladder up to higher education of equal to 65% , and Domestic Earnings Bruto per capita by pursuant to purchasing power parity equal to US$ 3.230. HDI of Indonesia only take in 111 possession from 177 state (Kompas, 2004).

Why Poverty in Indonesia difficult to be lessened even tend to increase? At least there are three cause making program of Poverty eradication meet not optimal result which is: First, approach of Poverty eradication less fitt in with the real condition of social-economic-culture of Indonesia which still have the dualistic characters, that is there still such a great difference among modern-industrial sector and countryside traditional sector (economic [people). Second, approach to responder of program the eradicate of Poverty very individual / individual ness, though in reality of Poverty eradication need the role of society group (Kelompok masyarakat). Third, at area of economic activity assumed the existence of clear dissociation between domestic economic activity everyday by the business included in its bookkeeping. Though this dissociation is one of weakness UKM.

To get the optimal result in poverty eradication, government in making policies should synchronize with poverty eradication programs. The policies to eradicate poverty is not for one or two isolate policies but for a package of complementary and supportive policies, including the following basic elements.

1. The policy designed to correct factor price distortions so as to ensure that market or institutionally establishes prices provide accurate signals and incentives to both producers and resources suppliers. Correcting distorted prices should contribute to greater productive efficiency, more employment, and less poverty. The promotion of indigenous technological research and development of efficient, labor intensive methods of production may also be valuable.

2. The policy designed to bring about far reaching structural changes in the distribution of assets, power and access to education and associate income earning (employment) opportunities. Such policies go beyond the realm of economics and thoughts on the whole socials, institutional, cultural and political fabric of the developing word. But without such fundamental structural changes and substantive assets redistributions, whether immediately achieved, the chances of improving significantly the living conditions of the masses of rural and urban poor in any reasonable time frame will be highly improbable, perhaps even impossible. For examples the transmigrations program should be followed with the infrastructure development and providing the public needed in developing their communities.

3. The policy designed to modify the size distribution of income at the upper levels to the enforcement of the legislated progressive taxation on income and wealth and at the lower level to the direct transfer payments and the expanded provisions of publicly provide consumption goods and services, including workfare programs. The net effect is to create social safety net for people who may be bypassed by the development process. The taxation should not encumbering the people who being struggle to go out from the poverty or reducing their incomes that use to be add the asset to develop the small business in to more large scale business.

4. A set of targeted policies to directly improve the well being of the poor and their communities, particularly those caught in poverty traps, that goes beyond safety net schemes, to offer programs that build capabilities and human and social capital of the poor, such as microfinance, health, educations agricultural development, environmental sustainability, and community development and empowerment programs. These can be carried out either by government or by non governmental organizations through local and international support.

Especially in microfinance the law have to be made in order to make the more amount banking for the credit of micro for the society of impecunious. Others also have to be made wholesale fund, so that each and everyone which wish to loan the money to impecunious can borrow from wholesale fund and loan it to impecunious. This is happens in Bangladesh and get very successfully to empowerment the poverty communities.

Various programs and the poverty eradicate policy, requiring serious effort to execute. From other side that needed governmental commitment and all party to see poverty as fundamental problem which must be handled more better, continuation and with the budget support.

http://www.amirsyah.blogspot.com/
http://www.azzahku.multiply.com/

TUNJANGAN RUMAH DPR 13JT/BULAN


Menonton Editorial Media Indonesia hari rabu pagi kembali membuat kita geram akan kelakuan para anggota DPR yang seharusnya menunjukkan kualitasnya sebagai orang yang terhormat. Tapi apa daya, mungkin tidak ada lagi yang bisa kita harapkan dari mereka yang berkantor di Senayan tersebut. Isi kepala mereka tidak pernah jenuh dengan upaya mencari cara agar bertambah kaya dan makmur sendiri ditengah kemiskinan, busung lapar, dan penyakit-penyakit yang menimpa rakyat yang tidak kunjung tertangani.

Setelah meloloskan UU Partai Politik yang kontroversial karena akan membebani APBN sebesar lebih dari 113 Milyar per tahun untuk mensubsidi Partai Politik yang memiliki kursi di DPR dan tidak adanya larangan dari Departemen/Non Departemen untuk memberi sumbangan pada Partai Politik, kini mereka yang menganggap dirinya terhormat tersebut kembali mencari cara untuk mengeruk uang negara dengan cara yang legal namun tidak tahu malu, yaitu pemberian tunjangan rumah sebesar Rp13 juta per bulan.

Di saat penghasilan anggota DPR yang rata-rata mencapai Rp50jt per bulan belum lagi ditambah dengan tunjangan tunjangan dan fasilitas-fasilitas lain seperti mesin cuci, laptop, biaya listrik & telpon, rumah dinas lengkap dengan isinya, mobil dinas, perjalanan dinas dalam dan luar negeri (yang dimanfaatkan untuk rekreasi), uang konstituen, dan lain sebagainya, mereka masih merasa kekurangan dan selalu berusaha mencari apa lagi yang bisa diambil dari uang rakyat. Dan hasilnya sebagaimana yang akan dilaksanakan adalah pemberian tunjangan rumah bagi orang-orang yang dianggap terhormat tersebut sebesar Rp13juta tiap bulan.

Bandingkan saja penghasilan para pengeruk uang negara dengan cara legal tersebut, dengan Pejabat KPK misalnya. Para pejabat KPK paling tinggi penghasilannya Rp40juta per bulan bersih tanpa tunjangan apapun. Apalagi kalo dibandingkan dengan gaji PNS yang telah mengabdi 25 tahun lebih yang hanya dalam kisaran paling tinggi Rp5juta. Apakah pantas anggota DPR menerima penghasilan yang sangat besar pada hal masa pengabdian mereka paling lama 5 tahun dalam satu periode. Bahkan bisa lebih singkat lagi bila harus mengalami giliran dalam pergantian antar waktu (PAW) yang hanya 2 atau 3 tahun. Dan mungkin banyak yang belum tahu kalo anggota DPR sudah tidak bekerja lagi mendapatkan tunjangan pensiun setiap bulan yang lamanya sama dengan PNS yang bekerja selama 25-30 tahun tapi dengan jumlah rupiah jauh lebih besar.

Tunjangan perumahan sebesar Rp13juta per bulan adalah sangat tidak masuk akal. Apa lagi selain penghasilan dan tunjangan yang melimpah, mereka sudah diberikan rumah dinas. Anggota DPR beralasan, rumah dinas mereka sudah tidak layak huni. Penilaian yang sangat tidak bermoral saat banyak rakyat hanya mampu tinggal di kolong jembatan, ataupun usaha yang super berat bagi para PNS dan rakyat miskin yang tetap tidak cukup walaupun hanya untuk memiliki rumah sangat sederhana. Penelusuran dari salah satu stasiun TV menemukan bahwa 30% perumahan anggota DPR dihuni oleh bukan anggota DPR. Apalagi banyak anggota DPR sudah punya rumah sendiri di Jakarta.

Darimana pertimbangan para anggota DPR yang sudah tidak mungkin kita hormati lagi itu (kecuali mereka yang rada2 gimana gitu) hingga muncul angka 13 juta? Dari wangsit, semedi, mimpi atau perencanaan anggaran yang normal dan logis? Biaya sewa apartemen dengan dua kamar di jantung Jakarta yang dekat dengan Senayan pun hanya berkisar Rp4juta per bulan. Bila diakumulasi tunjangan rumah anggota Dewan Penipu Rakyat tersebut Rp156juta per tahun atau Rp780juta per periode lima tahun. Bandingkan dengan harga satu rumah ataupun apartemen yang cukup mewah yang bisa di beli dengan harga mulai Rp150juta. Lantas dimanakah akal sehat dan hati nurani para anggota DPR tersebut??? Jangan-jangan mereka sudah tidak mempunyai keduanya. Sangat mengerikan bila para pejabat dan pemimpin di negara ini sudah kehilangan akal sehat dan hati nurani yang merupakan faktor diskriminan antara manusia dengan hewan.

Kalau hal ini dibiarkan saja terjadi, bukan mustahil ke depannya mereka akan minta tunjangan-tunjangan lainnya yang aneh-aneh. Mungkin saja akan ada tunjangan ke toilet, tunjangan pulang kampung, tunjangan berbicara, tunjangan pernikahan bagi yang akan menikah bahkan tunjangan untuk bernapas dan tunjangan meninggal dunia.

Saya jadi bingung pemilu 2009 nanti harus memilih partai apa dan mencoblos siapa yang akan mewakili saya di DPR? Mereka yang ada sekarang ini semuanya sama saja. Kalaupun ada yang mengklaim dirinya bersih, mana publikasi dari pertanggungjawaban mereka dan transparansi dari apa yang mereka lakukan di DPR? Misalnya, Saya ingin tahu saat pemilihan ketua KPK kemarin, siapa saja yang memilih A, B atau C sehingga saya bisa menilai kinerja mereka. Saya ingin tahu apakah mereka selalu menghadiri sidang ataukah hanya titip tanda tangan. Saya yakin rakyat pun ingin tahu informasi tentang kelakuan mereka secara kolektif maupun personal. Tapi kemana harus mencarinya?

Apa perlu dibentuk Partai Wakil Rakyat Bermoral (PWRB)????????
Hmmmmm….. Anggota DPR??? CAPE DEEEEH!!!!!!

http://www.amirsyah.blogspot.com/
http://www.azzahku.multiply.com/

Rabu, 05 Desember 2007

KORUPSI, “EXTRA ORDINARY CRIME VS EXTRA ORDINARY ACTION”

Extra ordinary crime
Sejak dibentuknya lembaga independen anti korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 29 Desember 2003, cukup banyak kasus-kasus korupsi yang ditangani dan cukup banyak pula koruptor yang di penjara serta harus membayar kerugian negara yang diakibatkannya. Pertanyaannya sekarang adalah apakah hal tersebut cukup memadai untuk membuat negara kita “relatif” bersih dari korupsi? Kita semua sepakat menjawab “belum!” Dan pertanyaan berikutnya yang muncul kemudian adalah: Mengapa korupsi sulit sekali diberantas di negara kita?

Hasil survey dan pemantauan dari LSM anti korupsi di dalam dan luar negeri memberikan kesimpulan yang tidak jauh berbeda dari tahun ke tahun, yaitu Indonesia adalah negara terfavorit dan surga bagi para koruptor. Berdasarkan hasil survei tahunan Lembaga Political and Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 2004, Indonesia merupakan negara tertinggi tingkat korupsinya melampaui beberapa negara tetangga seperti Thailand, Filipina, Korea Selatan, Cina, dan Malaysia(1). Predikat juara korupsi Asia juga datang dari lembaga Transparancy International.

Angka kebocoran keuangan negara karena korupsi sebesar 30 persen dari APBN pada 1999, kini bertambah besar, mencapai angka 50 persen dari APBN tahun 2003, yakni sebesar Rp 166,53 triliun (laporan BPK semester I 2004)(2). Berdasarkan angka tersebut sangat jelas bahwa korupsi telah merampas hak mayoritas rakyat Indonesia yang seharusnya diberikan negara berupa pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan berbagai infrastruktur yang berkualitas seperti jalan, jembatan, transportasi, irigasi dan pengairan yang semuanya sangat penting bagi tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran.

Dengan banyaknya penderitaan dan permasalahan yang dialami negara kita (entah kapan berakhir), maka kita sepakat menyatakan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa kemanusiaan (extra ordinary crime) yang harus diberantas secepatnya. Hal ini ditegaskan dalam konsiderans UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: “tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa”.

Faktor-Faktor Penyebab
Terdapat berbagai pengertian korupsi yang diberikan banyak pemerhati masalah ini. Namun secara sederhana terdapat dua unsur yang melekat dalam korupsi yaitu negara rugi dan keuntungan pribadi. Dari sini korupsi dapat diberikan pengertian sebagai tindakan yang merugikan negara untuk keuntungan pribadi. Lalu faktor-faktor apa yang menyebabkan seseorang melakukan korupsi?

Menurut Bank Dunia ada lima faktor yang menyebabkan kegiatan korupsi timbul dan menjadi subur di suatu negara(3), yaitu:

1. Rendahnya akuntabilitas politik. Akuntabilitas politik merupakan pembatasan pada perilaku para politisi dan pejabat publik.

2. Lemahnya kemandirian institusi negara, terutama lembaga negara yang bertugas memeriksa penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga lainnya.

3. Rendahnya partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dapat membatasi pergerakan para koruptor. Fokusnya adalah meningkatkan kesadaran publik tentang bahaya korupsi.

4. Rendahnya kompetisi sektor usaha. Suatu negara berada dalam posisi yang lemah ketika kekuatan ekonomi hanya terkonsentrasi pada beberapa perusahaan atau industri dan saat ketertarikan untuk berkompetisi berkurang karena pembuatan keputusan yang tidak tepat.

5. Manajemen sektor publik yang tidak memadai. Manajemen internal sumber daya manusia dan administrasi yang baik dapat mengurangi peluang dan keinginan melakukan korupsi, mencakup pembenahan sistem kepegawaian yang mencakup pengangkatan, promosi dan evaluasi kinerja.

Sedangkan Psikolog Dr. Sarlito W. Sarwono, menyatakan bahwa tidak ada jawaban yang persis mengapa korupsi terjadi, tetapi menurutnya ada dua hal yang jelas(4), yakni:

a. Dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak dan sebagainya).
Merupakan aspek individu pelaku berupa sifat tamak, moral yang kurang kuat, penghasilan kurang mencukupi, kebutuhan hidup yang mendesak, gaya hidup konsumtif, malas atau tidak mau kerja, dan ajaran agama yang kurang diterapkan.

b. Rangsangan dari luar (dorongan teman-teman, adanya kesempatan, kurangnya kontrol dan sebagainya). Terdiri dari beberapa aspek, yaitu:

1. Aspek organisasi.
Internal organisasi yang mendukung berkembangnya perilaku korupsi antara lain kurangnya keteladanan pimpinan, tidak adanya kultur organisasi yang benar, sistim akuntabilitas yang kurang memadai, kelemahan sistim pengendalian manajemen, dan kecenderungan menutupi korupsi yang terjadi di dalam organisasi.

2. Aspek lingkungan.
Antara lain: nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi, masyarakat kurang menyadari sebagai korban utama korupsi, kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi, kurang menyadari bahwa korupsi bisa dicegah dan diberantas bila masyarakat ikut aktif.

3. Aspek peraturan perundang-undangan.
Adanya peraturan yang monopolistik dan hanya menguntungkan kroni penguasa, kualitas kurang memadai, kurang disosialisasikan, sangsi yang terlalu ringan, penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.

Korupsi oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Salah satu unsur penting yang berkaitan langsung dengan korupsi adalah birokrasi dalam hal ini pegawai negeri sipil (PNS). Banyak yang berdalih bahwa salah satu penyebab terjadinya korupsi adalah rendahnya gaji PNS. Benarkah demikian?

Studi yang dilakukan Bank Dunia membantah argumen tersebut. Deon Filmer (Bank Dunia) dan David L Lindauer (Wellesley College) dalam World Bank Working Paper No. 2226/2001 yang berjudul ‘Does Indonesia Have a Low Pay Civil Service’ menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan PNS 42% lebih tinggi dibanding swasta. Hingga pada tingkat SMA, pendapatan PNS masih lebih baik dibandingkan dengan pegawai swasta. Tetapi, pada tingkat pendidikan selanjutnya, gaji pegawai swasta sudah lebih tinggi. Misalnya, untuk lulusan perguruan tinggi, sektor swasta membayar 50% lebih tinggi. Tapi, harus diingat perbandingan ini menggunakan data Survei Angkatan Kerja (Sakernas) 1998 dari BPS. Survey belum memperhitungkan penyesuaian (kenaikan) gaji dan tunjangan PNS dan pejabat yang telah beberapa kali dilakukan pemerintah (mencapai dua kali lipat lebih).

Penyesuaian gaji tersebut akan memperbaiki rasio ini khususnya bagi PNS yang menduduki jabatan. Para pegawai yang menduduki jabatan eselon V sampai dengan eselon I dewasa ini mendapat tambahan tunjangan struktural mulai dari Rp225 ribu sampai dengan Rp4,5 juta(5). Untuk eselon I, menurut studi ADB lainnya take home pay ditambah fringe benefit seperti sopir dan mobil dinas (dan rumah dinas) dapat mencapai Rp 200-300 juta per tahun. Untuk pejabat tertentu, jumlah ini bertambah lagi mengingat posisinya sebagai komisaris di BUMN(6).

Data di atas menunjukkan bahwa kehidupan PNS relatif jauh lebih baik dibandingkan dengan kebanyakan rakyat yang bekerja di sektor swasta, informal bahkan mereka yang kurang beruntung tidak mendapat pekerjaan. Data di atas menunjukkan pula bahwa tanpa harus korupsi pun PNS sebenarnya tetap bisa hidup layak.

Korupsi pada PNS disebabkan oleh berbagai faktor seperti kurang layaknya sistem insentif yang berlaku dan luasnya cakupan otoritas yang diberikan rakyat kepada sektor publik. Kurang layaknya sistem insentif ini bukanlah terletak pada besarnya gaji melainkan sistem merit yang tidak bekerja benar termasuk dalam perekrutan, promosi hingga kepada struktur gaji. Walaupun besarnya gaji relatif memadai jika dilihat secara rata-rata, tetapi perbedaan yang terlalu kecil dari gaji pokok golongan tertinggi dengan terendah menyebabkan insentif untuk bekerja dengan baik dan jujur relatif kecil. Hal ini menyebabkan usaha untuk menduduki jabatan lebih tinggi dimotivasi oleh harapan memperoleh pendapatan sampingan sehingga upaya itu dilakukan dengan menabrak peraturan yang berlaku. Faktor lain adalah lemahnya punishment terhadap PNS yang melakukan kesalahan atau cost of wrong doing sangat rendah. Akibatnya, jika digunakan analis biaya dan manfaat dengan menggunakan game theory, kita akan menyaksikan solusi optimal dan rasional bagi seorang PNS adalah melakukan korupsi(7).

Extra Ordinary Action
Melihat besarnya kerusakan yang diakibatkan oleh korupsi, maka diperukan tindakan nyata untuk memberantas korupsi. Tentu saja bukan tindakan sekadarnya seperti hanya berwacana atau menghukum koruptor secara tebang pilih. Yang dibutuhkan adalah tindakan luar biasa (extra ordinary action) yaitu tindakan-tindakan yang canggih, inovatif dan penuh terobosan. Robert Kiltgard (2001) menilai, pemberantasan korupsi tidak akan berhasil bila hanya menggunakan pendekatan normatif. Harus ada terobosan progresif yang bagi kalangan normatif mungkin dianggap aneh(8).

Strategi Pemberantasan korupsi
Untuk mencegah dan memberantas korupsi, ada tiga strategi yang diklasifikasikan dalam:
1. Strategi preventif. Dengan meminimalkan penyebab dan peluang.
2. Strategi detektif. Membenahi banyak sistem yang berfungsi sebagai pemberi peringatan.
3. Strategi represif. Proses hukum yang cepat, tepat dan kepastian yang tinggi(9).

Pendidikan Antikorupsi
Salah satu langkah terpenting dalam strategi preventif untuk mencegah korupsi ialah melaksanakan pendidikan anti korupsi pada masyarakat, terutama pada anak-anak dan remaja, baik di dalam keluarga maupun di sekolah. Hal ini meliputi pendidikan budi pekerti dan pembangunan karakter. Intinya mendidik anak bangsa menjadi jujur terhadap diri sendiri, terhadap masyarakat, dan terhadap Tuhan. Anak-anak harus dididik untuk dapat menerima amanat, yaitu tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya dan menjalankan sesuatu yang menjadi tanggung jawabnya. Selain itu, ditanamkan penghargaan terhadap kerja, sedangkan materi atau uang bukanlah tujuan utama. Dengan itu diharapkan bisa dicegah kecenderungan untuk menempuh jalan pintas atau tujuan menghalalkan cara.

Akuntabilitas dan Transparansi
Strategi detektif dapat dilaksanakan dengan menerapkan akuntabilitas dan transparansi pada semua aktivitas pemerintahan. Korupsi terjadi karena adanya monopoli kekuasaan plus kebebasan bertindak tanpa adanya akuntabilitas (C = M + D – A)(10). Dengan akuntabilitas dan transparansi, aparat pemerintah (sukarela atau terpaksa) akan bekerja sesuai dengan standard yang ditetapkan. Masyarakat yang tidak berkenan atau tidak puas dengan hasil pekerjaan aparat pemerintah dapat langsung mengajukan protes/komplain sehingga dapat segera diketahui apa penyebab protes/komplain tersebut. Apakah karena kurang komunikasi, ketidaksengajaan atau ada faktor-faktor lain seperti korupsi. Dengan demikian akan tercipta suatu early warning system perilaku korupsi yang dapat mempercepat pengumpulan data atau bukti-bukti untuk ditindaklanjuti.

Tindakan Represif
Langkah-langkah dalam strategi preventif dan detektif tidak akan memberikan hasil seperti yang diharapkan bila tidak didukung langkah represif, yaitu sanksi hukum secara tegas terhadap pelaku tindak pidana korupsi tanpa pandang bulu. Salah satu poin penting yang harus diperhatikan dalam melaksanakan strategi anti korupsi ialah bahwa “Korupsi adalah kejahatan yang dilakukan dengan penuh perhitungan, bukan karena nafsu atau keinginan semata. Seseorang cenderung untuk melakukan korupsi bila resikonya kecil dan hukumannya ringan, sedangkan hasil yang didapatkan besar atau sangat besar(11). Beberapa gagasan tindakan represif untuk memberantas korupsi antara lain:

Pertama, pemberlakuan sistem pembuktian terbalik.
Dengan bukti hukum awal yang kuat, seseorang yang disangka melakukan korupsi diwajibkan membuktikan bahwa ia tidak melakukannya. Instrumen pembuktian terbalik membuat siapa pun sulit mengelak jika memang korup atau disuap.

Kedua, memperbaiki kualitas dan budaya hukum.

Antara lain memperbanyak hakim non karier sebagai hakim ad hoc, pendidikan bagi penegak hukum, ekspose dan monitoring perkara korupsi serta sangsi tegas dan lebih berat bagi para para penegak hukum yang nakal.

Ketiga, penerapan undang-undang perlindungan saksi.

Hal ini akan meningkatkan keberanian masyarakat untuk turut aktif dalam pemberantasan korupsi dan sekaligus mempersempit ruang gerak para koruptor dalam menjalankan aksinya.

Keempat, melakukan punishment yang berat terhadap praktek korupsi seperti yang dilakukan di Singapura atau Cina, di mana koruptor dapat dihukum mati.

Kesimpulan yang dapat diambil dalam tulisan ini ialah bahwa korupsi yang terjadi di negara kita merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) terhadap kemanusiaan terlepas dari apapun faktor yang menyebabkannya. Oleh karena itu diperlukan tindakan nyata yang luar biasa untuk menghentikan dan memberantasnya, yaitu tindakan yang canggih, inovatif dan penuh terobosan (extra ordinary action). Dengan demikian diharapkan korupsi dapat segera diberantas dalam satu generasi seperti yang terjadi di Singapura, Hongkong, dan Cina. Hal ini sesuai dengan optimisme yang dinyatakan Presiden SBY dalam sambutannya saat membuka konferensi International Criminal Police Organization (ICPO)-Interpol Regional Asia ke-19(12). Amin.



Referensi:
1,2 Koran Tempo, 12 Februari 2005.
3 Anticorruption in Transition A Contribution to the Policy Debate, hal. xxii, World Bank, Washington, D.C.
4 “About Corruption: Sebab-Sebab Terjadinya Korupsi ” WWW.transparansi.or.id
5 Peraturan Pemerintah No.3/2006 tanggal 11 Januari 2006.
6,7 “Gaji Rendah Penyebab Korupsi” oleh Mohamad Ikhsan, Staf Pengajar FEUI, Media Indonesia 2 Juli 2001
8 Koran Tempo, 2 Desember 2004
9 Dari artikel Media Transparansi Online “Memperkuat Lembaga Pemerintahan” www.transparansi.or.id
10,11 Robert Klitgaard - Ronald Maclean Abaroa - H. Lindsey Parris, Corrupt Cities A Practical Guide to Cure and Prevention hal.13, ICS Press, Institute for Contemporary Studies, Oakland, California.
12 Koran Tempo, 12 April 2006

Alumni STAN Anti Korupsi???

Robert Klitgaard (2006) menyarankan agar pemberantasan korupsi dimulai dengan sesuatu yang nyata yang dapat dilihat dan dirasakan langsung manfaatnya oleh rakyat. Suatu tindakan nyata akan sangat mempengaruhi pola pikir dan perilaku rakyat terhadap korupsi yang pada akhirnya akan sangat membantu upaya pemberantasan korupsi.

Tindakan para alumni STAN yang sudah mulai berani “say no 4 C” adalah tindakan nyata, dan dampak langsungnya dapat dirasakan oleh masyarakat. Tetapi tindakan tersebut belum cukup untuk menghancurkan “gunung es” korupsi yang terus terjadi. Karena “Action more strong than words”, maka tindakan2 tersebut harus diakumulasikan, “ditularkan” dan diumumkan agar dampaknya menjadi “strongest” hingga cukup kuat untuk menghancurkan gunung es dan menghalangi terbentuknya gunung es baru.

Image yang berkembang di masyarakat bahwa lulusan STAN akan menjadi orang “sukses” dan “kaya”. Bahkan beberapa waktu lalu di Metro TV dalam acara Editorial, seorang penelpon menumpahkan keluh kesahnya saat berurusan dengan beberapa alumni STAN. Dengan adanya gerakan ini maka kita akan mengumumkan kepada khalayak bahwa tidak semua alumni STAN “seperti itu”. Saya masih ingat waktu beberapa tetangga dan kerabat mengetahui bahwa saya lulus ujian masuk STAN. Reaksi mereka adalah surprise dan mengucapkan selamat pada keluarga saya dengan mengatakan bahwa saya kelak akan menjadi orang “sukses” dan “kaya”. Mereka merujuk pada beberapa alumni STAN yang mereka kenal yang baru beberapa tahun bekerja tetapi sudah “sukses, mapan dan kaya”.

Dengan adanya gerakan ini, alumni STAN yang “nakal” sedikit banyak akan merasa malu dan mempunyai beban moral bila hendak melakukan hal-hal yang berhubungan dengan korupsi. Di sisi lain, masyarakat yang akan berhubungan dengan alumni STAN akan merasa “aman” dan “nyaman” karena stigma gerakan ini. Apabila pada kenyataannya mereka menemui alumni STAN yang “nakal”, maka akan timbul keberanian untuk bertanya mengapa ada paradoks di tengah gerakan Alumni STAN Anti Korupsi.

Di tengah ketidakberdayaan perguruan tinggi kedinasan dalam menjawab kebutuhan dan kesulitan masyarakat, ditambah lagi dengan kebobrokan yang dilakukan beberapa perguruan tinggi kedinasan, maka gerakan alumni STAN anti korupsi akan menjadi oasis bagi miringnya anggapan masyarakat terhadap keberadaan perguruan tinggi kedinasan. Mungkin hal ini akan menarik perhatian masyarakat akan eksistensi perguruan tinggi kedinasan khususnya STAN. Siapa tahu di masa depan yang mewisuda lulusan STAN adalah RI No.1.

Apalagi ada beberapa kredit point yang telah STAN miliki yang dapat dijadikan modal, yaitu:
- Menkeu Sri Mulyani sangat konsern dengan keberadaan STAN. Bahkan beberapa waktu lalu beliau mengunjungi STAN secara mendadak/tanpa jadwal terlebih dahulu dengan membawa para eselon I Depkeu.
- Banyak alumnus STAN/IIK/StiKN yang masih merupakan satu keluarga yang sudah memegang jabatan penting pengambilan keputusan.
- STAN telah memasukkan materi anti korupsi dalam kurikulumnya.
- STAN menjadi yang pertama dan satu2nya PT kedinasan yang bekerja sama dengan KPK menyelenggarakan Perkuliahan Anti Korupsi.
- STAN tahun lalu masuk MURI dengan rekor pendaftar terbanyak di Indonesia.
- STAN di masa datang dapat masuk ke semua Pemda, Departemen dan LPND.

So, bisakah hal ini terwujud???

Menghadapi Pungli Di SD Negeri

Beberapa tahun lalu, berdekatan dengan tahun ajaran baru, saya dimintai tolong oleh kenalan untuk memasukkan dua anaknya ke sekolah dasar (SD) negeri di ingkungan kami. Mereka meminta tolong saya untuk sekalian secara formalitas menjadi wali murid anak-anak mereka. Mereka segan karena merasa orang tak mampu, tidak mempunyai kerja tetap dan tidak memiliki KTP dan Kartu Keluarga.

Pada waktu itu sedang gencar-gencarnya pemerintah termasuk pemerintah daerah mengkampanyekan Wajib Belajar 9 Tahun gratis tanpa biaya dan adanya BOS (Bantuan Operasional Sekolah) untuk membiayai keperluan Wajib Belajar 9 Tahun tersebut. Pejabat-pejabat pun tak henti-hentinya berkoar-koar soal pendidikan SD dan SMP di daerahnya gratis. Tidak ada biaya apapun seperti membeli seragam di sekolah, buku-buku, dan sebagainya. Kalaupun ada pungutan, maka harus dengan persetujuan orang tua murid lewat Komite Sekolah dalam membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS). Media pun sangat intens meliput berita tentang program sekolah bebas biaya, mulai dari peraturan-peraturannya, sangsi bagi yang melanggar, analisis ahli, pengaduan bila terjadinya pungutan hingga pemberitaan kasus penyalahgunaan BOS, pungli yang masih terjadi dan lain sebagainya.

Oleh karena sudah sering terjadi bahwa peraturan-peraturan mengenai sekolah gratis hanya di atas kertas dan sering dilanggar sehingga masih ditemui pungli-pungli yang memberatkan orang tua siswa khususnya bagi mereka yang tidak mampu atau sangat tidak mampu, saya pun “mempersenjatai” diri kalau-kalau nanti saat mendaftarkan kedua anak kenalan saya itu masuk SD akan terjadi “sesuatu” yang tidak semestinya. “Senjata” saya adalah kliping koran-koran mengenai sekolah gratis baik berupa peraturan-peraturan, kutipan komentar para pejabat pusat dan daerah, ajakan untuk melaporkan pungli yang masih terjadi pada instansi berwenang, hingga kasus-kasus yang diekspos media massa mengenai “aparat sekolah” yang nakal.

O ya, saya lupa bercerita mengenai kenalan dan lingkungan sekolah yang akan saya “hadapi” tersebut. Kebetulan saya adalah PNS golongan rendah dengan masa kerja sepuluh tahun lebih yang mempunyai tanggungan seorang istri dan seorang anak balita serta kadang-kadang menanggung beberapa kerabat yang menganggap saya “orang berada” karena status sebagai PNS Departemen Keuangan. “Si Anu saja baru satu dua tahun kerja di Departemen Keuangan sudah punya rumah, mobil baru dan uang yang banyak”, adalah omongan yang paling sering saya dengar dari kerabat atau orang lain begitu mengetahui saya adalah PNS Departemen Keuangan.

Karena posisi saya sebagai PNS tersebut, maka menurut saya dapat dimaklumi kalau saya belum mampu membeli rumah BTN sekalipun {Soalnya untuk mengumpulkan uang muka rumah nggak pernah kesampaian J}. Jadilah saya seorang “kontraktor” yang sering berpindah rumah bila tidak cocok baik dengan harga, kondisi rumah ataupun dengan yang punya rumah. Harga yang saya mampu pun sangat terbatas sehingga sering mendapatkan rumah di lingkungan/daerah yang kurang ideal.

Saat itu kontrakan saya berada di lingkungan yang bisa dikatakan daerah kumuh dan padat, berjarak kurang lebih 200 meter dari sungai Ciliwung dan merupakan langganan banjir. Bila Banjir sedang hebatnya, maka bisa setinggi 2 meter lebih, sehingga kami terpaksa harus mengungsiJ Jadi bisa dibayangkan mayoritas mereka yang menjadi tetangga-tetangga saya, mereka belum seberuntung saya karena untuk makan seadanya saja harus mengeluarkan tenaga, waktu dan pikiran yang ekstra keras dari memulung, tukang sampah, jual koran, warteg mini dan sektor informal lainnya. Apalagi banyak kaum lelaki yang menganggur dan hanya mengandalkan kreativitas dan kerajinan para istri. Tidak bisa dibayangkan betapa pusingnya kepala dan sedihnya hati mereka saat memikirkan biaya kontrak rumah, apalagi keperluan sekolah anak-anak yang kadang kala harus mengalah/dikalahkan. Di daerah seperti inilah SD yang akan menjadi sekolah kedua anak kenalan saya itu. Bahkan jarak SD tersebut kurang dari 50 meter dari bibir sungai yang teramat sangat kotor tersebut.

Tibalah saat saya mengantar kedua anak tersebut mendaftar SD. Setelah mengisi formulir dan bertemu dengan Kepala Sekolah yang menangani langsung penerimaan murid baru akhirnya kedua anak tersebut dinyatakan resmi sebagai murid SD negeri tersebut. Kepala Sekolah terkesan sangat ramah, bahkan setelah tahu saya bekerja sebagai PNS di Departemen Keuangan, Beliau lebih ramah lagi. Omongan yang kurang lebih sama pun kembali saya dengar dari Kepala Sekolah tentang “kesuksesan dan kemapanan” beberapa kenalannya yang bekerja di Departemen Keuangan. Saya pun menanggapinya dengan terus terang bahwa pegawai Departemen Keuangan yang beliau kenal tersebut bisa saja merupakan “orang yang bermasalah”. Sampai akhirnya sang Kepala Sekolah berbicara mengenai “bantuan-bantuan” untuk sekolah. Saya pun pura-pura “bego” dan berbicara normatif. Akhirnya karena masih ada beberapa orang tua yang akan mendaftarkan anaknya, saya pun pamit pulang. Saat pulang saya lihat tampak guratan tidak puas atau mungkin kesal dari ekspresi wajah dan senyum sang Kepala Sekolah tersebut. Sangat beda tadi saat tahu saya pegawai Departemen Keuangan. Saya masa bodoh, yang penting kedua anak tersebut telah berhasil masuk SD negeri dengan tanpa biaya sepeserpun!!! Tapi dalam perjalanan pulang terlintas dipikiran saya, apakah akan seterusnya seperti ini??? O ya, saya lupa kalau ditengah perbincangan kami sempat disela oleh seorang murid yang memberikan bingkisan pada Beliau. “Ini dari papa” kata anak tersebut. Beliau tersenyum sumringah dan mengelus kepala anak tersebut lalu berkata, “Salam buat papa ya!”

Beberapa minggu kemudian saya diberitahu istri kalau kedua anak sekolah tersebut sering “diminta” untuk membayar ini itu bahkan untuk hal-hal yang sangat remeh sekalipun. Salah satunya bahkan sempat membuat saya kesal dan mendatangi guru SD tersebut. Pasalnya sang anak disuruh pulang oleh gurunya saat sedang jam belajar hanya untuk mengambil uang Rp500,- demi mendapatkan foto copy jadwal pelajaran dalam tulisan tangan sang guru sebesar kertas kuarto dibagi dua. Memang anak tersebut saya wanti-wanti untuk tidak diberi uang jajan, tetapi membawa bekal sendiri ke sekolah yang disiapkan istri saya. Bayangkan saja!!! Satu kelas kurang lebih ada 30 anak, satu lembar kertas kuarto dapat berisi dua buah jadwal, harga foto copy hanya kurang dari Rp100,- (anggaplah Rp100,-). Jadi untuk memenuhi kebutuhan foto copy jadwal seluruh murid satu kelas tersebut hanya diperlukan 15 lembar X Rp100,- = Rp1.500,- suatu jumlah yang sangat kecil yang seharusnya bisa ditutupi oleh dana operasional sekolah ataupun pemberian iklas dari sang guru. Apalagi penghasilan guru di Ibu Kota relatif memadai. Atau setidaknya dapat menunggu hingga hari berikutnya, bukannya menyuruh anak kelas satu SD untuk pulang ke rumah di saat jam belajar hanya untuk mengambil Rp500,-. Disekolah saya mempertanyakan tindakan sang guru tersebut, dan saya pun mendapatkan jawaban klise seolah-olah tidak ada sesuatu yang salah terjadi dan guru tersebut pun tidak merasa bersalah.

Untuk buku-buku pelajaran pun dimintai uang yang besarnya cukup/sangat memberatkan para orang tua yang sebagian diantaranya adalah golongan miskin/tidak mampu. Padahal buku-buku sudah disediakan gratis bagi setiap sekolah untuk setiap pelajaran. Saya sudah mengingatkan hal ini pada kenalan saya dan mendorongnya untuk berani “bertanya” terhadap setiap pembayaran yang diminta pihak sekolah. Tetapi tanpa memberitahu saya ternyata kenalan saya itu telah membayar lebih dari seratus ribu untuk keperluan buku-buku anaknya yang diminta oleh sekolah.

Yang sangat aneh lagi adalah jumlah buku untuk keperluan murid kelas satu SD sebanyak 7 buah untuk setiap enam bulan/semesternya. Beberapa buku pun cukup tebal untuk ukuran anak kelas satu SD. Apakah perlu menggunakan buku sebanyak itu untuk siswa kelas satu SD yang belum bisa membaca dan menulis??? Saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi karena sudah memberi informasi tentang sekolah gratis di Ibu Kota kepada kenalan saya itu. Kata istri saya, kenalan saya itu takut kalau anak mereka diapa-apakan oleh sekolah.

Puncak kekesalan saya adalah saat pembagian rapor semester pertama. Kedua anak tersebut tidak diberikan rapor oleh sekolah karena ada “beberapa hal” yang belum diselesaikan. Orang tua/wali murid disuruh datang ke sekolah. Melihat raut sedih dan kebingungan kenalan saya dan anak-anaknya, saya memutuskan untuk datang ke SD tersebut.

Saat menemui guru wali kelas, saya mendapatkan kalimat-kalimat yang berputar-putar dan tidak to the point, padahal maksudnya sudah jelas yaitu sekolah merasa kedua murid tersebut belum membayar sesuatu. Ketika saya mulai bertanya-tanya tentang surat keputusan komite sekolah tentang pembayaran ini itu di sekolah tersebut dan juga kaitannya dengan kebijakan sekolah gratis dan tidak boleh ada pungutan, sang guru langsung berkelit dan seolah-olah ikut menyalahkan Kepala Sekolah, bahwa ini adalah perintah/kebijakan dari sang Kepala Sekolah, si wali kelas mengaku tidak tahu-menahu.

Saya pun langsung ke ruangan Kepala Sekolah. Diruangan sedang tidak ada tamu dan sang Kepala Sekolah sedang duduk tanpa kesibukan. Begitu melihat saya datang, Beliau langsung seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu, membaca berkas sambil tangannya seolah-olah hendak menulis sesuatu. Saya pun mengetuk pintu, “Maaf mengganggu pak! Saya disuruh Guru X menemui Bapak. Mengenai Rapor anak kami, katanya ada sesuatu yang belum diselesaikan.”
Kemudian sang Kepala Sekolah mulai berbicara to the point dengan kalimat-kalimat yang menyindir saya seolah-olah saya tidak bertanggungjawab dan pura-pura tidak tahu apa maksud yang beliau katakan. Kepala Sekolah pun akhirnya mengucapkan kalimat yang intinya proses masuk kedua anak yang saya daftarkan di SD tersebut belum selesai karena belum membayara sumbangan sebesar Rp200ribu untuk setiap anak. Artinya untuk mendapatkan rapor, harus membayar Rp400ribu terlebih dahulu.

Saya pun tersenyum dan dalam hati saya berkata “inilah saatnya menggunakan ‘senjata’ yang saya persiapkan enam bulan yang lalu!”. Saya pun menanyakan apa dasar/peraturan pembayaran tersebut, apakah ada surat keputusan rapat komite sekolah dan persetujuan orang tua/wali murid mengenai pembayaran yang diminta pihak sekolah. Sekalian saya bertanya tentang pembelian buku-buku yang “over dosis” untuk ukuran siswa SD kelas satu dan keberadaan buku-buku gratis yang diberikan Dinas Pendidikan, serta pungutan-pungutan lainnya yang terjadi.

Saya berikan kliping-kliping koran yang saya kumpulkan mengenai dasar hukum dan peraturan-peraturan pelaksanaan wajib belajar 9 tahun dan tidak adanya pembayaran yang boleh dipungut oleh pihak sekolah. Beberapa kliping juga memuat tentang sangsi keras bagi aparat sekolah yang melanggar. Akhirnya saya katakan, bukan masalah nominal pembayaran yang membuat saya mempertanyakan semuanya, tetapi dasar hukum pembayaran-pembayaran tersebut. Bila dasar hukum/peraturan memang membolehkan pembayaran tersebut, 1 juta pun akan saya bayar sekarang juga dan saya minta diberikan salinan fotocopy peraturan sekolah dan kuitansi pembayaran.

Raut wajah sang Kepala Sekolah pun berubah. Tampak adanya kecemasan dan rasa tidak senang dari nada bicaranya. Akhirnya dengan kalimat yang datar, tanpa basa-basi dan tanpa senyum lagi seperti sebelumnya dia berkata, “Kalau Bapak tidak mau bantu kami, ya tidak apa-apa! Siapa nama anak nya Pak?” Sayapun menyebutkannya dan sesaat kemudian rapor pun diberikan. Saya pun mengucapkan terima kasih dan keluar dari ruangan tersebut masih penuh dengan perasaan dongkol. Walaupun saya “menang”, perasaan saya mengatakan kemenangan ini “hanya sementara”.

Beberapa lama kemudian masa kontrak rumah saya habis dan saya memutuskan untuk pindah rumah karena istri saya trauma dengan banjir 2 meter lebih yang pernah terjadi. Saya tidak lagi mendengar kabar tentang sekolah dua anak kenalan saya itu. Terakhir saya dengar kabar dari istri yang bertemu dengan tetangga di kontrakan lama, kedua anak kenalan saya tersebut ternyata sudah berhenti sekolah. Saya menghela nafas panjang dan hanya bisa bersedih. “Akhirnya mereka menyerah” Batin saya lirih.
(Jakarta, 2 November 2007)

Selasa, 04 Desember 2007

GANGGUAN ORGANISASI DALAM PEMERIKSAAN

Pendahuluan

“The value of auditing depends heavily on the public’s perception of the independence of auditor" (Alvin A.Arens, Randal J. Elder, Mark S. Beasley: Auditing and Assurance Services, An Integrated Approach. Tenth Edition. Pearson Prentice Hall 2005.)

Kualitas pemeriksaan ditentukan oleh persepsi masyarakat terhadap independensi pemeriksa dalam melaksanakan pemeriksaan. Persepsi masyarakat ini sangat tergantung pada bagaimana organisasi pemeriksa bersama pemeriksanya berusaha maksimal menunjukkan independensinya berdasarkan pembuatan aturan-aturan/standard dan prosedur yang memadai serta aplikasinya dalam pemeriksaan.

Pasal 23 ayat e, f, g dari amandemen ke tiga Undang-undand Dasar 1945 mengatur hubungan institusional antara DPR, pemerintah dan BPK. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa pemerintah harus mempertanggungjawabkan sumber daya yang dipercayakan DPR/DPRD dalam bentuk laporan keuangan. BPK berdasarkan undang-undang ditugaskan untuk memeriksa pertanggungjawaban keuangan pemerintah sesuai permintaan DPR. Hubungan ini adalah kontrak sosial yang ditegaskan oleh konstitusi. Undang-undang ini mengarahkan agar standard audit pemerintah mengatur agar auditor bekerja independen baik secara organisasi maupun indvidual pemeriksa serta bebas dari berbagai gangguan independensi baik individual, external dan organisasi.

Auditor pemerintah yang harus mengaudit laporan keuangan pemerintah yang didalamnya mencakup audit terhadap semua kegiatan pemerintah dalam mengelola dan mempertanggungjawabkan keuangan negara yang meliputi pelaksanaan APBN, APBD, pelaksanaan anggaran tahunan BUMN dan BUMD atau badan hukum lain dimana terdapat kepentingan keuangan negara atau yang menerima bantuan pemerintah. Luasnya cakupan yang harus diaudit dan adanya karakteristik khusus dalam audit sektor pemerintahan, maka diperlukan auditor-auditor yang handal, yang memilki kompetensi, integritas, obyektivitas, dan independensi dalam perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan pekerjaan yang dilaksanakannya.

Pengertian Independensi

Menurut Arens, Elder dan Beasley dalam Auditing and Assurance Service An Integrated Approach Tenth Edision, independensi dalam audit berarti cara pandang yang tidak memihak di dalam pelaksanaan pengujian, evaluasi hasil pemeriksaan, dan penyusunan laporan audit. Menurut Standar Audit Pemerintahan 1995, independensi merupakan suatu pendapat, kesimpulan, pertimbangan atau rekomendasi dari hasil audit yang dilaksanakan secara tidak memihak dan dipandang tidak memihak oleh pihak ketiga yang memiliki pengetahuan mengenai hal itu. Dalam SPKN independensi ditekankan dalam paragraph 14 Pernyataan standar umum kedua: “Dalam semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan pemeriksaan, organisasi pemeriksa dan pemeriksa, harus bebas dalam sikap mental dan penampilan dari gangguan pribadi, ekstern, dan organisasi yang dapat mempengaruhi independensinya”.

Dari beberapa definisi independesi tersebut diatas, dapat kita tarik simpulan bahwa independensi merupakan suatu tindakan baik sikap perbuatan atau mental auditor dalam sepanjang pelaksanaan audit dimana auditor dapat memposisiskan dirinya dengan auditee nya secara tidak memihak dan dipandang tidak memihak oleh pihak-pihak yang berkepentingan terhadap hasil auditnya.

Secara umum independensi terdiri dari dua yaitu Independensi dalam kenyataan dan dalam penampilan. Independensi dalam kenyataan merupakan sikap mental yang benar-benar ada dalam kenyataan ketika auditor dapat mempertahankan sikap yang tidak memihak sepanjang pelaksanaan audit. Independensi ini terutama ditujukan ke pribadi auditor dalam melaksanakan auditnya sehingga independensi dalam kenyatan ini sulit untuk dinilai oleh orang/pihak lain selain auditor sendiri. Independensi dalam penampilan adalah hasil interpretasi/persepsi orang/pihak lain mengenai independensi auditor. Walaupun auditor dapat mempertahankan independen dalam kenyataan, namun apabila pihak-pihak yang berkepentingan terhadap laporan keuangan yakin bahwa auditor memihak kepada auditee maka opini dari hasil audit yang telah dibuat auditor tidak akan credible lagi.

Faktor-Faktor Yang Mengganggu Independensi

Secara garis besar, standar-standar pemeriksaan seperti GAGAS dan SPKN menyatakan ada tiga faktor gangguan yang dapat mempengaruhi independensi pemeriksa yaitu gangguan yang bersifat pribadi, gangguan yang bersifat ekstern dan gangguan yang bersifat organisatoris.
Para auditor, termasuk konsultan yang dipekerjakan dan tenaga ahli serta spesialis intern yang melaksanakan tugas audit, perlu mempunyai pertimbangan terhadap tiga macam gangguan ini terhadap independensi, yaitu sebagai berikut:

a. Gangguan yang bersifat pribadi.

Gangguan yang bersifat pribadi merupakan suatu keadaan dimana auditor secara individual tidak dapat untuk tidak memihak, atau dianggap tidak mungkin tidak memihak. Gangguan yang bersifat pribadi ini dapat berlaku bagi auditor secara individual dan juga dapat berlaku bagi organisasi/lembaga audit.

Gangguan independensi yang bersifat pribadi, antara lain sebagai berikut:

- Hubungan dinas, profesi, pribadi, atau keuangan yang mungkin dapat menyebabkan seorang auditor membatasi pengungkapan temuan audit, memperlemah atau membuat temuan auditnya menjadi berat sebelah, dengan cara apapun.
- Prasangka terhadap perorangan, kelompok, organisasi atau tujuan suatu program, yang dapat membuat pelaksanaan audit menjadi berat sebelah.
- Pada masa sebelumnya mempunyai tanggung jawab dalam pengambilan keputusan atau pengelolaan suatu entitas, yang berdampak pada pelaksanaan kegiatan atau program entitas yang sedang berjalan atau sedang diaudit.
- Kecenderungan untuk memihak, karena keyakinan politik atau sosial, sebagai akibat hubungan antar pegawai, kesetian kelompok, organisasi atau tingkat pemerintahan tertentu.
- Pelaksanaan audit oleh seorang auditor yang sebelumnya pernah sebagai pejabat yang menyetujui faktur, daftar gaji, klaim, dan pembayaran yang diusulkan olehsuatu entitas atau progam yang diaudit.
- Pelaksanaan audit oleh seorang auditor, yang sebelumnya pernah menyelenggarakan catatan akuntansi resmi atau lembaga/unit kerja atau program yang diaudit.
- Kepentingan keuangan secara langsung atau kepentigan keuangan yang besar, meskipun tidak secara langsung pada entitas atau program yang diaudit.

b. Gangguan yang bersifat ekstern.

Gangguan yang bersifat ekstern bagi organisasi/lembaga audit dapat membatasi pelaksanaan audit atau mempengaruhi kemampuan auditor dalam menyatakan pendapat dan kesimpulan auditnya secara independen dan obyektif. Gangguan independensi yang bersifat ekstern, antara lain sebagai berikut:

- Campur tangan atau pengaruh pihak ekstern yang membatasi atau mengubah secara tidak semestinya atau secara gegabah, terhadap lingkup audit
- Campur tangan pihak ekstern terhadap pemilihan dan penerapan prosedur audit, atau dalam pemilihan transaksi yang harus diperiksa.
- Pembatasan waktu yang tidak masuk akal untuk penyelesaian suatu audit.
- Campur tangan pihak luar terhadap organisasi/lembaga audit mengenai penugasan penunjukkan, dan promosi staff pelaksana audit.
- Pembatasan terhadap sumber yang disediakan bagi organisasi/lembaga audit tersebut dalam melaksanakan tugasnya.
- Wewenang untu menolak atau mempengaruhi peertimbangan auditor terhadap isi semetinya dari suatu laporan audit.
- Pengaruh yang membahayakan kelangsungan auditor sebagai pegawai, selain sebab-sebab yang berkaitan dengan kecakapan auditor atau dengan kebutuhan jasa audit.

c. Gangguan yang bersifat organisatoris.

Independensi para auditor pemerintah dapat dipengaruhi oleh kedudukannya dalam struktur organisasi pemerintahan, tempat auditor tersebut ditugaskan, dan juga dipengaruhi oleh audit yang dilaksanakannya, yaitu apakah mereka melakukan audit intern atau audit terhadap entitas lain.


Menghindarkan Pemeriksa dari Gangguan Organisasi

1. Peranan Standard Mengatur Gangguan Organisasi

Standar pemeriksaan harus mengatur gangguan organisasi secara lebih jelas dan mendalam untuk menghindari perbedaan persepsi dan pendapat sehingga organisasi pemeriksa dalam menjalankan tugas dan fungsinya dapat lebih terarah dalam menjaga independensinya khususnya yang berkaitan dengan gangguan organisasi dalam pelaksanaan pemeriksaan.

Dengan adanya standar yang mengatur independensi organisasi, organisasi pemeriksa dapat lebih fokus merencanakan pemeriksaan, menentukan tim dan personel pemeriksa hingga melakukan sosialisasi dan pendidikan mengenai pentingnya memahami independensi organisasi dan gangguan yang mungkin datang dari organisasi dalam melakukan pemeriksaan.

Bagi pemeriksa, dengan adanya standar yang lebih jelas yang mengatur independensi organisasi dapat memudahkan untuk bertindak dan keleluasaan mengambil keputusan dalam pemeriksaan mulai dari perencanaan hingga pembuatan laporan hasil pemeriksaan.

2. Menghindarkan gangguan organisasi

Independensi para auditor pemerintah dapat dipengaruhi oleh kedudukannya dalam struktur organisasi pemerintahan, tempat auditor tersebut ditugaskan, dan juga dipengaruhi oleh audit yang dilaksanakannya, yaitu apakah mereka melakukan audit intern atau audit terhadap entitas lain.

Kewajiban secara umum dari organisasi/lembaga audit dan auditornya dalam hal-hal yang berhubungan dengan independensi, adalah sebagai berikut:
- Bertanggung jawab untuk dapat mempertahankan independensinya
- Bersikap independen dan mempunyai keyakinan bahwa dirinya dapat bersikap demikian
- Mempertimbangkan faktor lain yang dapat menyebabkan pihak lain menyangsikan sikap independesinya tersebut
- apabila satu atau lebih dari gangguan terhadap independensi tersebut lebih mempengaruhi kemampuan auditor dalam melakanakan tugas auditnya, dan dalam melaporkan temuannya secara tidak memihak, maka auditor yang dimaksud harus menolak tugas audit yang diberikan kepadanya.

Agar tercipta independensi secara organisasi, organisasi/lembaga audit wajib:
- Melaksanakan akuntabiltas serta melaporkan hasil audit mereka kepada pejabat tertinggi dalam lembaga atau entitas pemerintah yang bersangkutan
- Ditempatkan diluar fungsi manajemen garis dan staf entitas yang diaudit tersebut
- Menyampaikan hasil audit secar teratur kepada instansi atau lembaga pemerintah yang berwenang dan BPK
- Dijauhkan dari tekanan politik, gara mereka dapat melaksanakan audit secara obyektif dan dapat melaporkan temuan audit, pendapat dan kesimpulan mereka secara obyektif, tanpa rasa takut akibat tekanan politik tersebut.
- Diadakan pembinaan dalam suatu sistem kepegawaian yang mengatur kompensasi, pelatihan, promosi jabatan dan pengembangannya, didasarkan pada prestasi kerja yang dihasilkan.

Jika kondisi sebagaimana disebutkan diatas dapat dipenuhi, dan tidak ada gangguan terhadap independensi baik yang bersifat ekstern, staf audit secara organisasi harus dipandang independen untuk melakukan audit intern, dan bebas untuk melaporkan secara obyektif kepada pimpinan tertinggi entitas pemerintah yang diaudit.

Kesimpulan

Independensi merupakan suatu tindakan baik sikap perbuatan atau mental auditor dalam sepanjang pelaksanaan audit dimana auditor dapat memposisiskan dirinya dengan auditee nya secara tidak memihak dan dipandang tidak memihak oleh pihak-pihak yang berkepentingan terhadap hasil auditnya.

Secara umum independensi terdiri dari dua yaitu Independensi dalam kenyataan dan dalam penampilan. Independensi dalam kenyataan merupakan sikap mental yang benar-benar ada dalam kenyataan ketika auditor dapat mempertahankan sikap yang tidak memihak sepanjang pelaksanaan audit. Independensi dalam penampilan adalah hasil interpretasi/persepsi orang/pihak lain mengenai independensi auditor.

Secara garis besar, ada tiga faktor gangguan yang dapat mempengaruhi independensi pemeriksa yaitu gangguan yang bersifat pribadi, gangguan yang bersifat ekstern dan gangguan yang bersifat organisatoris. Setiap faktor gangguan tersebut dapat terjadi baik pada organisasi pemeriksa ataupun pemeriksa sehingga harus diambil tindakan untuk menghindarkannya agar tidak mempengaruhi independensi dalam pemeriksaan. Tindakan yang diperlukan adalah mengatur dengan jelas dalam standar mengenai gangguan-gangguan tersebut, seperti definisi, kondisi-kondisi yang akan mengakibatkan munculnya gangguan hingga cara mencegahnya dalam organisasi pemeriksa dan petugas pemeriksa itu sendiri agar tidak mempengaruhi independensi saat menjalankan tugas dan fungsinya.


Referensi
- Arens, Alvin A. dan James K. Loebbecke, Eighth Edition, Auditing:Integrated Approach. Englewood Cliffs, New Jerseys: Prentice Hall, Inc., 2000
- Code of Ethnics and Auditing Standars International Organization of Supreme Audit Institution (INTOSAI), 1998
- Generally Accepted Governmental Auditing Standard (GAGAS): 2003 Revision. US General Accounting Office, 2003
- Ricchiute, David N., Auditing, 4th edition, Ohio: South Western College Publising, 1995
- Standar Audit Pemerintahan – Badan Pemeriksa Keuangan tahun 1995
- Wiley, John and John S., Brenda Ponter, John Simon, and David hatherly, Principles of External Auditing, 2nd edition, England, 2003
- http://www.bpk.go.id

Menguras Uang Rakyat

Membaca berita di Harian Kompas tanggal 29 November 2007 pada halaman 2 yang berjudul “Melonjak, Bantuan untuk Parpol dari APBN” membuat kita sangat prihatin. Bagaimana tidak, Para Anggota DPR kita “yang terhormat” sedang menggodok Rancangan Undang-Undang Partai Politik yang di dalamnya menyepakati bantuan dari APBN diberikan setiap tahun dan dihitung berdasarkan perolehan suara seperti tahun 1999.

Pada Pemilu 1999 satu suara dihargai Rp1.000,- dan untuk Pemilu 2009 harga satu suara diusulkan ada kenaikan dan dipertimbangkan juga tingkat kemahalan yang berbeda-beda di setiap daerah. Bila pada Pemilu 1999 bantuan diberikan pada semua partai, pada Pemilu 2009 hanya pada partai yang memperoleh kursi. Pada Pemilu 2004 dihitung berdasarkan kursi yang dihargai Rp21 juta per kursinya.

Pemikiran yang sangat aneh. Suara rakyat ternyata bisa dihargai berbeda tergantung tingkat kemahalannya. Suara rakyat sudah dijadikan komoditas seperti semen, ayam, beras dan lain sebagainya. Kalau harga ayam di Wamena tahun 2000 lalu Rp100ribu per ekor maka mungkin tahun 2009 nanti harga ayam di Wamena sudah Rp150ribu per ekor. Secara logika berarti suara rakyat di Wamena lebih mahal di banding suara rakyat di Jakarta, Palembang or Kebumen??? Bukankah suara rakyat adalah "Suara Tuhan" yang posisinya sama baik di Wamena or Kebumen yang harus didengarkan dan disejahterakan bukannya dinilai sebagai komoditas??? Bukankah sudah tugas partai politik meraih simpati untuk dipilih oleh rakyat dari Sabang sampai Merauke tanpa perlu "insentif" Rp1.000 per suara??? Saya jadi teringat insentif yang diberikan sang ayah saat mencari rambut putih di kepala nya waktu masih SD, Rp100 untuk setiap helai yang saya cabut dan kumpulkan. Saya jadi bersemangat sekali dalam "bekerja" mencari rambut putih.

Masih dalam berita yang sama, Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (Cetro) Hadar N. Gumay menghitung bahwa bila satu suara dihargai Rp1.000,- saja, APBN harus mengeluarkan Rp112,2 miliar per tahun untuk mensubsidi partai politik. Bila dihitung Rp21juta per kursi, maka APBN menanggung Rp11,5 miliar per tahun.

Seharusnya kita sangat geram dan mengutuk tindakan para wakil rakyat itu. Memang secara formal mereka adalah perwakilan kita dari proses pemilu, namun secara realitas tindakan-tindakan mereka yang mengutamakan kepentingan dan masa depan rakyat masih relatif dipertanyakan. Apakah mungkin para wakil rakyat yang mempunyai mental seperti itu karena mereka dipilih oleh mayoritas rakyat yang relatif lugu (masih bodoh) dan tidak sanggup berpikir panjang dalam mengambil keputusan? Seperti istilah kampanye seorang kandidat gubernur lalu dikatakan “karena Rp50 ribu, menderita lima tahun”. Mungkin fenomena inilah yang berulang terjadi dalam setiap pemilu beserta ekses-ekses negatif lainnya.

Dengan Rp112,2 miliar berapa banyak gedung sekolah yang bisa dibangun setiap tahunnya? Anggaplah misal sebuah gedung sekolah dibangun dengan biaya Rp100juta, maka dengan Rp112,2 miliar per tahun dapat dibangun sebanyak 1.112 gedung sekolah setiap tahunnya. Selama lima tahun dapat dibangun sebanyak 5.610 gedung sekolah. Jumlah yang sangat cukup untuk mengganti semua bangunan sekolah yang rusak parah dan hampir roboh di seluruh Indonesia. Dengan dana Rp11,5 miliar per tahun pun mampu dibangun sebanyak 115 sekolah per tahun. Jumlah yang sangat berarti dan dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat di banding jika dana tersebut masuk ke dalam kantong partai.

Dalam sektor kesehatan, negara kita hanya mampu membayar asuransi Rp20 ribu untuk seorang rakyat miskin, bandingkan dengan Thailand yang mengalokasikan Rp500 ribu lebih untuk asuransi kesehatan rakyatnya. Dengan Rp112,2 miliar maka tersedia tambahan dana asuransi kesehatan untuk 5.610.000 orang miskin di Indonesia per tahun. Dengan alokasi yang tepat dan supervisi yang efektif, dana-dana ini dapat sangat membantu rakyat dalam mengatasi masalah kesehatan. Sekali lagi bandingkan manfaatnya jika dana tersebut masuk ke kantong-kantong partai.

Bayangkan juga berbagai dana-dana yang dihamburkan para wakil rakyat dan aparat pemerintah yang belum tentu ada manfaatnya bagi rakyat seperti pembelian mesin cuci, jas, laptop, studi banding ke luar negeri dan lain sebagainya, jika dialokasikan secara transparan dan akuntabel dalam APBN/APBD dan dilaksanakan oleh pemerintah secara efektif, efisien dan tetap sasaran minus penyunatan, tanda terima kasih, uang lelah dan berbagai jenis korupsi lainnya, berapa banyak masalah di negara kita yang bisa diselesaikan dan akhirnya mensejahterakan rakyat yang seharusnya menjadi tujuan utama pengelola negara yakni pemerintah dan DPR.

Seharusnya partai politik membiayai diri sendiri dengan cara yang halal dan terhormat. Partai politik adalah jalan yang tepat untuk berkorban dan memberikan pengorbanan bagi rakyat, bangsa dan negara. Partai politik seharusnya menjadi tempat orang yang dermawan, tidak takut miskin demi terwujudnya kesejahteraan rakyat. Bukan sebaliknya menjadi tempat orang mencari kerja, uang dan kekuasaan yang akhirnya akan tega mengorbankan rakyat, bangsa dan negara menjadi sapi perah.

Mereka yang aktif di partai politik seharusnya rela mengeluarkan harta, tenaga bahkan jiwa raga demi tercapainya idealisme, kejujuran dan keadilan. Rakyat yang melihat orang-orang seperti ini pun pasti tidak akan tinggal diam membantu dengan suka rela dan iklas semampu mereka sebagaimana rakyat dahulu membantu pejuang-pejuang negara ini dalam mengusir penjajah. Rakyat suka rela membantu para pejuang dengan harta walaupun mereka miskin, memberikan makanan walaupun mereka juga sering kekurangan dan kelaparan, bahkan mereka rela dibunuh demi kerahasiaan keberadaan para pejuang. Dengan demikian keberhasilan mereka dipilih oleh rakyat adalah buah dari kerja keras yang idealis, jujur dan adil dan didukung oleh rakyat yang sadar akan manfaat perjuangan mereka. Bukan dari hasil permainan dan menghalalkan segala cara. Para aparat yang terpilih dari proses yang jujur akan bekerja tanpa beban, bekerja keras dan berusaha yang terbaik untuk mensejahterakan rakyat.

Walaupun masa sekarang ini dan dalam jangka waktu pendek kecil harapan untuk membuat “mereka” jera dan memperbaiki kondisi bangsa. Namun kita tetap tidak boleh putus asa, kita harus tetap berusaha sekecil apapun yang kita bisa. Segala hal positif yang kita lakukan sekarang ini akan menjadi saham yang di masa depan bisa terakumulasi dan memberikan manfaat bagi bangsa ini. Mulailah untuk berpikir panjang dan memikirkan masa depan sebelum memilih dalam pemilu, pilkada dan pengambilan keputusan yang sejenis. Mulailah berbuat positif dalam perilaku sehari-hari, tidak KKN, menyuap, memboroskan sumber daya milik pribadi maupun milik negara dan lain sebagainya.

Semoga bangsa ini belum terlambat untuk memperbaiki diri.